Alasan Taimiyah Tidak Mampu Membantah Ateis

ALASAN TAIMIYAH TIDAK MAMPU MEMBANTAH ATEIS

RUMAH-MUSLIMIN.COM | AKIDAH - Dalam diskursus teologi Islam dan perdebatan dengan ateisme, posisi epistemologis dan metodologis menjadi sangat penting. Salah satu kekeliruan mendasar yang dilakukan oleh pengikut Ibn Taimiyah atau yang sering disebut kaum Taimiyun adalah penggunaan paradigma materialisme dalam memahami dan menjelaskan Tuhan. Padahal, ateisme kontemporer sendiri justru berakar kuat dalam materialisme itu sendiri. Maka, ketika Taimiyun menyusun argumen ketuhanan, mereka justru terjebak dalam jebakan paradigma yang sama dengan lawannya: para ateis.

Materialisme dalam konteks filsafat menyatakan bahwa satu-satunya realitas yang benar-benar eksis adalah materi dan segala sesuatu yang dapat diukur dengan pancaindra atau instrumen ilmiah. Dalam kerangka ini, segala sesuatu yang tidak bersifat material dianggap tidak eksis atau sekadar spekulasi metafisik. Sayangnya, sebagian kalangan Taimiyun yang menganut paham tajsim—yakni keyakinan bahwa Tuhan memiliki bentuk atau sifat-sifat fisik—secara tidak sadar telah menerima premis dasar materialisme itu. Mereka memahami Tuhan dalam kategori materi, ruang, arah, dan bentuk, yang semuanya merupakan konsep-konsep material.

Di sinilah letak kontradiksi mereka menjadi sangat jelas. Karena telah menganggap Tuhan sebagai sesuatu yang serupa dengan makhluk secara fisik (meskipun sering mereka bungkus dengan istilah "tanpa menyamakan dengan makhluk"), mereka menuntut keberadaan Tuhan bisa dibuktikan secara empiris atau diasumsikan bisa diindera. Ketika menghadapi ateis yang berkata, “Kalau Tuhan itu nyata, tunjukkan secara ilmiah dan kasat mata!”, maka para Taimiyun tidak memiliki jawaban yang kokoh, sebab cara berpikir mereka juga bertumpu pada kerangka yang sama. Akhirnya, mereka mundur ke posisi yang lemah: menggunakan dogma, klaim kebenaran yang tidak dapat diverifikasi secara rasional, atau mengandalkan kepercayaan mayoritas umat.

$ads={1}

Namun, pendekatan seperti ini jelas rapuh. Seorang ateis dengan mudah akan menolak argumen itu sebagai argumentum ad populum—sebuah sesat pikir yang menganggap sesuatu benar hanya karena banyak orang mempercayainya. Dalam debat serius, argumen semacam ini tidak akan pernah cukup untuk menandingi kerangka ateisme yang sistematis dan logis. Maka tak mengherankan jika ketika dipertanyakan tentang eksistensi Tuhan, kaum Taimiyun justru kelabakan atau balik menyerang pribadi lawan tanpa bisa membantah secara intelektual.

Berbeda halnya dengan pendekatan yang digunakan oleh Ahlussunnah wal Jamaah dalam mazhab teologis Asy’ariyah dan Maturidiyyah. Sejak awal, dua mazhab ini sudah menolak materialisme dan menempatkan Tuhan di luar kategori ruang, arah, bentuk, dan zat. Tuhan bagi mereka bukan materi dan tidak memiliki sifat-sifat materi. Karena itu, metode pembuktiannya pun tidak bisa memakai pendekatan empiris, melainkan melalui argumentasi rasional-filosofis, yang dikenal dalam ilmu kalam sebagai burhan huduts (argumen kontingensi temporal) dan burhan imkan (argumen kontingensi esensial).

Baca juga: Meyakini Tuhan Harus Dibuktikan Secara Empiris?

Argumen huduts menunjukkan bahwa segala sesuatu di alam semesta memiliki permulaan (huduts) dan karenanya pasti membutuhkan sebab awal yang tidak berhuduts, yaitu Tuhan. Sementara argumen imkan menyatakan bahwa segala sesuatu yang mungkin ada (tidak mustahil) tidak bisa eksis dengan sendirinya tanpa penyebab yang wajib ada, yaitu Tuhan. Kedua argumen ini membuktikan eksistensi Tuhan melalui akal dan logika, tanpa menjadikan Tuhan sebagai bagian dari ruang dan materi. Justru karena Tuhan tidak terbatas pada ruang dan waktu, maka eksistensinya bisa dijelaskan secara niscaya dan tak terbantahkan oleh ateisme murni.

Sayangnya, pendekatan rasional ini justru ditolak mentah-mentah oleh kaum Taimiyun. Mereka mengharamkan ilmu kalam dan menganggapnya sebagai bid’ah. Akibatnya, mereka kehilangan perangkat utama yang dapat digunakan untuk membantah ateisme secara ilmiah dan rasional. Dengan kata lain, ketika berhadapan dengan ateisme yang berpijak pada argumen logika dan sains modern, kaum Taimiyun tidak punya senjata teoretis apa pun yang memadai. Mereka menolak filsafat, menolak logika, dan pada saat bersamaan memeluk sebagian asumsi materialisme, sehingga akhirnya mereka hanya bisa bertahan di wilayah kepercayaan dogmatis yang mudah diremehkan oleh kaum ateis.

Kondisi ini menjadi ironi besar: mereka mengklaim membela tauhid dan mempertahankan kemurnian aqidah, tetapi justru gagap total ketika berhadapan dengan ateisme yang berkembang di era modern. Bahkan tidak sedikit dari kalangan Taimiyun yang akhirnya tergelincir dalam pemikiran skeptis atau bahkan ikut meninggalkan agama, karena sejak awal tidak dibekali fondasi intelektual yang memadai untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang Tuhan, eksistensi, dan tujuan hidup.

Baca juga: Akidah Adalah Manhaj Dalam Hidup dan Memahami Agama

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk kembali merujuk pada khazanah keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah yang telah teruji sepanjang sejarah. Tradisi ilmu kalam Asy’ariyah dan Maturidiyyah memberikan fondasi rasional yang kuat, sekaligus menjaga kesucian konsep Tuhan dari pengaruh antropomorfisme dan materialisme. Di tengah tantangan pemikiran modern, pendekatan mutakallimin inilah yang mampu menjadi benteng terakhir dalam menghadapi arus sekularisme dan ateisme global. Tanpa itu, umat akan terus terseret dalam debat tanpa akhir yang hanya berputar-putar dalam lingkaran sesat pikir.

Sumber referensi: Kyai Abdul Wahab Ahmad

Ditulis oleh: Hendra, S/Rumah Muslimin

Demikian Artikel " Alasan Taimiyah Tidak Mampu Membantah Ateis "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah - 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close