Ada Nabi Dari Indonesia Dari 124 Ribu Nabi, Benarkah?

ADA NABI DARI INDONESIA DARI 124 RIBU NABI, BENARKAH?

RUMAH-MUSLIMIN.COM - Belakangan ini, di tengah pesatnya penyebaran ceramah melalui media sosial, kita seringkali menjumpai pernyataan-pernyataan yang unik, kontroversial, atau bahkan mengundang tawa. Salah satunya datang dari seorang dai yang dalam rekaman ceramahnya menyatakan bahwa jumlah nabi yang diutus Allah berjumlah 124.000. Lalu ia melanjutkan dengan kemungkinan bahwa di antara mereka bisa jadi ada yang berasal dari wilayah yang kini kita kenal sebagai Indonesia. Bahkan, dengan ringan, dia menyebut nama-nama khas lokal seperti Nabi Asep ‘alaihissalam, Nabi Slamet ‘alaihissalam, Nabi Mulyono ‘alaihissalam, atau Nabi Tugimin ‘alaihissalam.

Sepintas, pernyataan tersebut tampak jenaka atau sekadar hiburan dalam konteks dakwah. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, pernyataan semacam ini menyimpan potensi masalah yang cukup serius, terutama dalam hal metodologi penyampaian agama dan akurasi informasi yang dijadikan rujukan oleh masyarakat awam.

$ads={1}

Jumlah Nabi Memang Banyak, Tapi...

Tidak ada yang mempersoalkan jumlah nabi yang sangat banyak. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, disebutkan bahwa jumlah nabi mencapai 124.000 orang, dan dari jumlah tersebut, 313 di antaranya adalah rasul. Ini adalah angka yang sering dikutip dalam literatur Islam klasik.

Namun, penting dipahami bahwa informasi mengenai siapa saja nabi-nabi tersebut tidak diwariskan secara lengkap. Al-Qur’an hanya menyebutkan 25 nabi secara eksplisit, sementara hadits dan atsar menyebut beberapa nama tambahan dengan derajat yang beragam dari sisi validitasnya.

Dalam hal ini, prinsip utama yang harus dijunjung adalah bahwa urusan kenabian bukan ranah spekulasi, tapi bagian dari perkara sam’iyyat—yaitu hal-hal yang hanya bisa diketahui melalui wahyu atau informasi sahih dari sumber terpercaya, bukan hasil dugaan atau kemungkinan belaka.

Masalahnya: "Kemungkinan" yang Disulap Jadi Kepastian

Ketika seorang dai mengatakan bahwa “mungkin saja ada nabi dari Indonesia”, maka secara logika, memang benar bahwa kemungkinan itu secara teori terbuka. Mengingat jumlah nabi mencapai ribuan dan mereka diutus ke seluruh penjuru bumi, bisa saja wilayah Asia Tenggara pernah mendapat utusan. Namun, ketika kemungkinan itu disertai penyebutan nama-nama seperti “Asep, Slamet, Tugimin, Mulyono” lalu diberi embel-embel ‘alaihissalam, maka ini sudah melewati batas kewajaran kemungkinan ilmiah dan memasuki ranah rekayasa naratif.

Kenapa demikian? Karena:

Menyebut nama spesifik bukan lagi berspekulasi, tapi menyusun narasi baru tanpa dasar yang sahih.

Gelar kenabian (‘alaihissalam) hanya diberikan kepada orang yang secara pasti telah ditetapkan oleh wahyu sebagai nabi.

Kemungkinan menjadi alat dakwah memang mungkin menghibur, tapi bila tak dikontrol, akan menjadi riwayat maudhu’ (palsu) yang menjebak publik ke dalam kekeliruan sejarah dan akidah.

Bahaya dari Spekulasi Berlebihan

Munculnya spekulasi seperti ini dapat membuka pintu distorsi sejarah dan penyesatan informasi. Awalnya memang hanya guyon atau ilustrasi, namun di tengah masyarakat yang cenderung mengidolakan tokoh agama dan tidak selalu kritis terhadap informasi, hal-hal seperti ini berpotensi dianggap benar dan disebarkan.

Bayangkan jika kemudian muncul kuburan kuno di suatu daerah, lalu karena pengaruh ceramah tersebut, masyarakat mulai berkata:

“Mungkin ini makam Nabi Slamet.”

Atau lebih ekstrem:

“Mungkin raja leluhur kami adalah seorang Rasul.”

Bahkan bisa saja muncul keyakinan bahwa garis keturunan seseorang terhubung kepada salah satu nabi “lokal” yang tak dikenal.

Jika dibiarkan, ini bisa memunculkan bentuk baru dari kultus terhadap leluhur atau tokoh lokal, yang dibungkus dengan narasi agama. Tentu ini akan menjauhkan umat dari jalur ilmu yang lurus dan merusak kemurnian dakwah Islam.

Kemungkinan Tidak Sama dengan Kebenaran

Dalam ilmu pengetahuan, apalagi dalam akidah, kita harus membedakan antara kemungkinan dan kebenaran. Kemungkinan bisa benar, bisa salah. Namun untuk menyatakan sesuatu sebagai kebenaran, diperlukan bukti, data, dan riwayat yang sahih. Dalam konteks ini, tidak ada satu pun riwayat sahih, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, yang menyebut adanya nabi yang diutus ke wilayah yang kini bernama Indonesia.

Maka, walaupun kemungkinan secara teori tetap ada, kemungkinan itu tidak naik menjadi hipotesis apalagi klaim. Justru kemungkinan tersebut harus diletakkan pada tempatnya: hanya sebatas kemungkinan, dan tidak boleh dimanfaatkan untuk membangun cerita atau keyakinan baru yang tidak memiliki dasar agama.

Penutup: Jangan Mengarang di Atas Panggung Dakwah

Dakwah adalah amanah besar. Setiap kata yang keluar dari mulut seorang dai akan dicatat dan bisa menjadi sumber ilmu, atau justru sumber fitnah. Maka berhati-hatilah dalam menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan akidah dan sejarah kenabian.

Membuat analogi kreatif memang tidak dilarang dalam dakwah, tapi ketika menyangkut identitas para nabi mereka yang ditunjuk langsung oleh Allah untuk menjadi perantara wahyu maka tidak ada ruang untuk imajinasi liar. Tidak ada “Nabi Asep”, “Nabi Slamet”, atau “Nabi Tugimin” karena tidak ada riwayat sahih yang menyebutnya. Dan selayaknya tidak ada yang berani mengucapkannya kecuali dengan dasar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan syar’i.

Karena itu, kepada para dai dan pendakwah, semoga lebih berhati-hati dalam berkata. Jangan sampai satu candaan atau ilustrasi membuka pintu kesesatan bagi ribuan jamaah yang tidak memiliki kemampuan menyaring informasi secara kritis.

Referensi: Kyai Abdul Wahab Ahmad

Penulis: Hendra, S/Rumah Muslimin

Demikian Artikel " Ada Nabi Dari Indonesia Dari 124 Ribu Nabi, Benarkah? "

Semoga Bermanfaat

Wallahu a'lam Bishowab

Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim

- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah-

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close