KISAH KH HASYIM ASY'ARI DAN SEBUAH SENAPAN SAAT PENJAJAHAN
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Ketika pertempuran semakin sengit di Surabaya, gejolak peperangan menyebar cepat ke daerah-daerah sekitarnya, termasuk Jombang yang menjadi salah satu lokasi strategis dalam peta pertempuran. Penduduk Jombang mulai panik dan banyak yang memilih meninggalkan kota untuk mencari tempat yang lebih aman. Kondisi semakin kritis, dan Jombang dianggap terlalu berbahaya untuk dihuni. Dalam suasana genting tersebut, para petinggi Laskar Hisbullah dan tentara rakyat berkumpul untuk meminta nasihat dari KH. Hasyim Asy'ari, ulama besar dan pendiri Nahdlatul Ulama, yang saat itu berada di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Di antara mereka yang hadir adalah Bung Tomo, orator ulung yang membangkitkan semangat perlawanan rakyat melalui pidato-pidatonya yang membara. Juga hadir Gus Yusuf Hasyim, putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari, yang turut serta dalam barisan Laskar Hisbullah. Para perwira ini datang bukan hanya untuk meminta petunjuk, tetapi juga untuk memohon agar KH. Hasyim Asy'ari bersedia meninggalkan Tebuireng dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka khawatir bahwa pondok pesantren tersebut menjadi target serangan Sekutu, mengingat peran pentingnya dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan.
Bung Tomo, dengan nada serius dan penuh kekhawatiran, membuka percakapan, “Kami tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempertahankan Tebuireng, Kyai. Keadaan semakin genting, dan pasukan sekutu dapat menyerang kapan saja.”
Namun, KH. Hasyim Asy'ari menanggapi dengan tenang. Beliau tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya perlahan. “Ini adalah tanahku, rumahku. Aku tidak akan pergi. Aku akan bertahan di sini,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
$ads={1}
Para perwira Laskar Hisbullah terdiam sejenak. Mereka saling bertukar pandang, mencoba memahami keputusan sang ulama besar. Salah seorang dari mereka, dengan nada hati-hati dan penuh hormat, kembali bertanya, “Tapi bagaimana jika pertahanan kami jebol, Kyai? Jika pasukan Sekutu menyerang sampai ke Tebuireng?”
Pertanyaan tersebut membawa suasana semakin tegang. Mereka sadar bahwa Pesantren Tebuireng memiliki sejarah yang menjadikannya sasaran utama Sekutu. Harun, seorang santri Tebuireng, adalah pelaku peledakan mobil Jenderal Mallaby, insiden yang memicu intervensi besar-besaran Sekutu di Surabaya. Hal ini menjadikan Tebuireng sebagai simbol perlawanan, dan kemungkinan besar akan dijadikan target balasan oleh pasukan musuh.
KH. Hasyim Asy'ari dengan tenang menoleh kepada putra bungsunya, KH. Yusuf Hasyim, dan memanggilnya, “Ud, coba tunjukkan pistolmu,” ucapnya lembut, menggunakan panggilan kesayangan untuk anaknya.
KH. Yusuf Hasyim, dengan penuh hormat, menyerahkan pistolnya kepada sang ayah. KH. Hasyim memegang senjata tersebut, memperhatikan setiap detailnya dengan seksama. Setelah beberapa saat, beliau bertanya, “Bagaimana cara menggunakannya, ya?”
Pertanyaan tersebut mengejutkan para perwira yang hadir, termasuk KH. Yusuf Hasyim. Namun, tanpa ragu, Gus Yusuf segera mengajarkan ayahnya cara mengoperasikan senjata itu. Ia menunjukkan bagaimana cara mengokang pistol, membidik dengan benar, dan menarik pelatuknya dengan tenang agar tembakannya tidak meleset. KH. Hasyim Asy'ari memperhatikan setiap instruksi dengan seksama, belajar dengan teliti seperti seorang murid yang sedang mempelajari pelajaran baru.
Baca juga: Guru-guru KH Hasyim Asy'ari dan Tantangannya Dalam Berdakwah
Di antara mereka yang hadir adalah Bung Tomo, orator ulung yang membangkitkan semangat perlawanan rakyat melalui pidato-pidatonya yang membara. Juga hadir Gus Yusuf Hasyim, putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari, yang turut serta dalam barisan Laskar Hisbullah. Para perwira ini datang bukan hanya untuk meminta petunjuk, tetapi juga untuk memohon agar KH. Hasyim Asy'ari bersedia meninggalkan Tebuireng dan mengungsi ke tempat yang lebih aman. Mereka khawatir bahwa pondok pesantren tersebut menjadi target serangan Sekutu, mengingat peran pentingnya dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan.
Bung Tomo, dengan nada serius dan penuh kekhawatiran, membuka percakapan, “Kami tidak memiliki cukup kekuatan untuk mempertahankan Tebuireng, Kyai. Keadaan semakin genting, dan pasukan sekutu dapat menyerang kapan saja.”
Namun, KH. Hasyim Asy'ari menanggapi dengan tenang. Beliau tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya perlahan. “Ini adalah tanahku, rumahku. Aku tidak akan pergi. Aku akan bertahan di sini,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
$ads={1}
Para perwira Laskar Hisbullah terdiam sejenak. Mereka saling bertukar pandang, mencoba memahami keputusan sang ulama besar. Salah seorang dari mereka, dengan nada hati-hati dan penuh hormat, kembali bertanya, “Tapi bagaimana jika pertahanan kami jebol, Kyai? Jika pasukan Sekutu menyerang sampai ke Tebuireng?”
Pertanyaan tersebut membawa suasana semakin tegang. Mereka sadar bahwa Pesantren Tebuireng memiliki sejarah yang menjadikannya sasaran utama Sekutu. Harun, seorang santri Tebuireng, adalah pelaku peledakan mobil Jenderal Mallaby, insiden yang memicu intervensi besar-besaran Sekutu di Surabaya. Hal ini menjadikan Tebuireng sebagai simbol perlawanan, dan kemungkinan besar akan dijadikan target balasan oleh pasukan musuh.
KH. Hasyim Asy'ari dengan tenang menoleh kepada putra bungsunya, KH. Yusuf Hasyim, dan memanggilnya, “Ud, coba tunjukkan pistolmu,” ucapnya lembut, menggunakan panggilan kesayangan untuk anaknya.
KH. Yusuf Hasyim, dengan penuh hormat, menyerahkan pistolnya kepada sang ayah. KH. Hasyim memegang senjata tersebut, memperhatikan setiap detailnya dengan seksama. Setelah beberapa saat, beliau bertanya, “Bagaimana cara menggunakannya, ya?”
Pertanyaan tersebut mengejutkan para perwira yang hadir, termasuk KH. Yusuf Hasyim. Namun, tanpa ragu, Gus Yusuf segera mengajarkan ayahnya cara mengoperasikan senjata itu. Ia menunjukkan bagaimana cara mengokang pistol, membidik dengan benar, dan menarik pelatuknya dengan tenang agar tembakannya tidak meleset. KH. Hasyim Asy'ari memperhatikan setiap instruksi dengan seksama, belajar dengan teliti seperti seorang murid yang sedang mempelajari pelajaran baru.
Baca juga: Guru-guru KH Hasyim Asy'ari dan Tantangannya Dalam Berdakwah
Setelah selesai dengan latihan singkat itu, tanpa menembakkan satu peluru pun karena amunisi yang terbatas, KH. Hasyim menyimpan pistol tersebut di sakunya. Beliau menatap dalam-dalam kepada putranya, dan dengan nada penuh keteguhan berkata, “Aku pinjam senjata ini ya, Ud. Kalau Sekutu sampai ke sini, aku akan melawan. Kamu cari senjata lain untuk dirimu.”
KH. Yusuf Hasyim hanya bisa mengangguk, hatinya terpecah antara rasa bangga dan kecemasan yang mendalam. Dia tahu betapa teguhnya ayahnya dalam mempertahankan tanah dan keyakinannya, namun ia juga tidak bisa menyingkirkan kekhawatiran akan bahaya yang mengancam.
Para perwira Laskar Hisbullah yang hadir juga sempat ragu, namun mereka tak dapat mengubah keputusan KH. Hasyim Asy’ari. Mereka akhirnya harus menerima kenyataan bahwa sang ulama besar memilih untuk tetap tinggal di Tebuireng, di tengah ancaman yang kian mendekat. Setelah berbicara dengan beliau, mereka memutuskan untuk kembali ke garis depan pertempuran, membawa serta prajurit yang sebelumnya ditugaskan untuk mengawal KH. Hasyim. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menghormati keputusan beliau dan fokus untuk mempertahankan wilayah lainnya.
Sementara itu, di Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari tetap bertahan di pondok pesantrennya. Dengan hanya ditemani oleh beberapa santri setia yang memutuskan untuk tidak mengungsi, beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin datang. Pistol di sakunya menjadi simbol tekad beliau untuk tetap berjuang, meskipun usia dan kesehatannya tidak lagi muda. Bagi KH. Hasyim, tanah dan pesantrennya adalah bagian dari perjuangan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Baca juga: Karomah Mbah Bani, Kakak Kelas Kanjeng Kartini dan Murid Kyai Hasyim Asy'ari
KH. Yusuf Hasyim hanya bisa mengangguk, hatinya terpecah antara rasa bangga dan kecemasan yang mendalam. Dia tahu betapa teguhnya ayahnya dalam mempertahankan tanah dan keyakinannya, namun ia juga tidak bisa menyingkirkan kekhawatiran akan bahaya yang mengancam.
Para perwira Laskar Hisbullah yang hadir juga sempat ragu, namun mereka tak dapat mengubah keputusan KH. Hasyim Asy’ari. Mereka akhirnya harus menerima kenyataan bahwa sang ulama besar memilih untuk tetap tinggal di Tebuireng, di tengah ancaman yang kian mendekat. Setelah berbicara dengan beliau, mereka memutuskan untuk kembali ke garis depan pertempuran, membawa serta prajurit yang sebelumnya ditugaskan untuk mengawal KH. Hasyim. Tidak ada pilihan lain bagi mereka selain menghormati keputusan beliau dan fokus untuk mempertahankan wilayah lainnya.
Sementara itu, di Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari tetap bertahan di pondok pesantrennya. Dengan hanya ditemani oleh beberapa santri setia yang memutuskan untuk tidak mengungsi, beliau siap menghadapi segala kemungkinan yang mungkin datang. Pistol di sakunya menjadi simbol tekad beliau untuk tetap berjuang, meskipun usia dan kesehatannya tidak lagi muda. Bagi KH. Hasyim, tanah dan pesantrennya adalah bagian dari perjuangan yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Baca juga: Karomah Mbah Bani, Kakak Kelas Kanjeng Kartini dan Murid Kyai Hasyim Asy'ari
Di tengah ketegangan dan kekhawatiran, Tebuireng menjadi saksi bisu dari keteguhan seorang ulama besar yang memilih bertahan di tengah gelombang pertempuran. Dengan pistol di tangan dan keyakinan yang teguh di hati, KH. Hasyim Asy'ari menolak untuk mundur, menunjukkan bahwa perlawanan tidak hanya berasal dari senjata dan kekuatan fisik, tetapi juga dari keteguhan hati dan keimanan yang kuat. Di balik keputusan beliau, tersirat pesan bahwa mempertahankan tanah air adalah kewajiban bagi setiap individu, terlepas dari ancaman yang mungkin datang.
Keputusan beliau untuk bertahan di Tebuireng hingga akhir merupakan salah satu kisah kepahlawanan yang membekas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Meskipun ancaman Sekutu begitu nyata, semangat perlawanan tidak pernah pudar dari hati sang ulama besar. KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa keberanian sejati lahir dari keyakinan yang kokoh, dan bahwa perjuangan melawan penindasan tidak selalu harus dilakukan dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan keteguhan jiwa dan prinsip yang tak tergoyahkan.
Keputusan beliau untuk bertahan di Tebuireng hingga akhir merupakan salah satu kisah kepahlawanan yang membekas dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Meskipun ancaman Sekutu begitu nyata, semangat perlawanan tidak pernah pudar dari hati sang ulama besar. KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa keberanian sejati lahir dari keyakinan yang kokoh, dan bahwa perjuangan melawan penindasan tidak selalu harus dilakukan dengan kekuatan fisik, tetapi juga dengan keteguhan jiwa dan prinsip yang tak tergoyahkan.
Ditulis oleh: Kyai Yahya Cholil Staquf
Editor: Hendra, S
Demikian Artikel " Kisah KH Hasyim Asy'ari dan Sebuah Senapan Saat Penjajahan "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -