Puluhan Ribu Warga Liverpool Serukan Lawan Genosida di Gaza

 
RUMAH-MUSLIMIN.COM | LIVERPOOL - Sebuah laporan dari media Israel berbahasa Ibrani, Kan, yang dikutip oleh The Cradle pada Sabtu (21/09/2024), mengungkapkan bahwa stasiun berita satelit Al-Arabiya, yang dimiliki oleh Arab Saudi, bekerja sama secara langsung dengan militer Israel. Al-Arabiya dikatakan menerima informasi eksklusif sebagai imbalan atas penyajian citra positif tentang tentara Israel kepada pemirsa di dunia Arab.

Al-Arabiya, yang diluncurkan pada Maret 2003, tepat sebelum dimulainya perang AS di Irak, didirikan oleh saudara ipar Raja Fahd dari Arab Saudi, dengan dukungan tambahan dari Hariri Group di Lebanon serta investor dari Arab Saudi, Kuwait, dan negara-negara Teluk lainnya.

Dalam laporannya, Kan menyoroti bahwa keberpihakan Al-Arabiya terhadap Israel terlihat jelas melalui berbagai tajuk berita dan konten terkini yang ditayangkan oleh stasiun tersebut.

Contohnya, ketika Israel melakukan serangan terhadap mobil yang menewaskan Khalil Al-Maqdah, seorang komandan dari sayap bersenjata faksi Palestina Fatah, di Lebanon pada 22 Agustus, Al-Arabiya melaporkan kejadian tersebut bahkan sebelum orang-orang di lapangan bisa mengidentifikasi korban. Hal ini hanya dapat terjadi jika militer Israel memberikan informasi tersebut kepada stasiun berita Saudi.

Laporan dari Kan juga mengungkapkan bahwa Al-Arabiya menunjukkan pola kerja sama dengan militer Israel dalam penggunaan istilah-istilah yang dipilih maupun dihindari ketika meliput konflik di Gaza, yang diduga diarahkan oleh manajer umum Al-Arabiya, Abdul Rahman Al-Rashid.

Meskipun liputan perang oleh Al-Arabiya mungkin terlihat serupa dengan media Arab lainnya, terdapat perbedaan kecil yang signifikan dalam bahasa yang digunakan, yang cenderung mendukung Israel.

Sebagai contoh, sebagian besar media Arab menggunakan istilah “tawanan” untuk menyebut orang Israel yang ditangkap oleh Hamas pada 7 Oktober dalam Operasi Banjir Al-Aqsa. Sebaliknya, Al-Arabiya menggunakan istilah “sandera”. Penggunaan kedua kata tersebut memiliki konotasi yang berbeda; “tawanan” mengacu pada orang yang ditahan atau ditangkap, sementara “sandera” mengandung makna bahwa seseorang ditahan untuk memenuhi tuntutan tertentu.
$ads={1}

Media Arab lainnya sering merujuk Israel sebagai “penjajah” atau “entitas Zionis” dan militernya sebagai “tentara penjajah” atau “pasukan penjajah Israel”. Namun, Al-Arabiya menghindari istilah “penjajah” dan hanya menyebut “Israel” atau “tentara Israel”, sehingga meminimalkan informasi mengenai siapa yang merupakan pelaku penjajahan.

Selain itu, jika media Arab pada umumnya menyebut warga Palestina yang menjadi korban tindakan militer Israel sebagai “martir” atau “syuhada”, Al-Arabiya lebih memilih istilah “terbunuh”.

Dalam konteks kelompok perlawanan Palestina, banyak media Arab menggunakan istilah “kelompok perlawanan Palestina” ketika merujuk pada Hamas. Namun, Al-Arabiya memilih untuk menyebutnya sebagai “gerakan Hamas” atau “organisasi Hamas”. Penggunaan istilah tersebut dapat melemahkan kesan bahwa gerakan ini adalah bagian dari perlawanan sah yang diakui dalam hukum internasional.

Liputan Al-Arabiya tentang Hamas juga tidak menggambarkan kelompok tersebut sebagai gerakan penting atau kuat.

Laporan Kan kemudian mengakhiri dengan mempertanyakan hasil kolaborasi antara tentara Israel dan Al-Arabiya, terutama dalam hal pengaruhnya terhadap aliansi, perjanjian, dan hubungan Israel dengan dunia Arab.

Pada Agustus lalu, Haaretz, surat kabar asal Israel, juga menyoroti keberpihakan Al-Arabiya terhadap Israel. Haaretz menyebutkan bahwa Al-Arabiya memberikan panggung kepada juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, untuk mencela gerakan perlawanan Hizbullah di Lebanon pada Juni lalu.

Baca juga: Korban Serangan Israel di Gaza Terkini: 41,391 Tewas, 95,760 Luka-luka

Setelah kunjungan Amos Hochstein, penasihat senior Presiden Amerika Serikat Joe Biden, ke Lebanon, Hagari muncul di Al-Arabiya dan mengatakan, “Saya di sini, di utara,” sambil mengklaim bahwa Hizbullah “memanfaatkan rakyat Lebanon,” yang menurutnya tidak mengetahui sepenuhnya tentang perang yang terjadi antara Hizbullah dan Israel.

Haaretz juga mencatat bahwa Al-Arabiya memperlihatkan sikap yang simpatik terhadap Perjanjian Abraham, yang ditandatangani Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020. Stasiun ini bahkan menyiarkan cuplikan dari parlemen Israel, Knesset, selama penandatanganan perjanjian tersebut.

Koran Israel tersebut juga mengutip Orit Perlov, seorang peneliti di Institut Studi Keamanan Nasional (INSS) dan mantan penasihat di Departemen Luar Negeri AS, yang menyatakan bahwa “Israel, pada bagiannya, bekerja sama dan menyampaikan pesan ke saluran tersebut.”

Pada Juli lalu, The New Arab, yang dimiliki oleh Qatar, melaporkan kemarahan warga Palestina terhadap bias Al-Arabiya saat meliput pembantaian Israel di kamp Al-Mawasi di Gaza. Setidaknya 90 orang tewas dalam serangan di daerah Al-Mawasi, Khan Younis, yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai “zona aman” bagi warga sipil Palestina oleh militer Israel.

The New Arab mencatat bahwa “sebagian besar dari mereka yang meninggal dunia diyakini adalah penduduk sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.” Bahkan, tim medis yang berusaha menyelamatkan korban juga diserang oleh pasukan Israel. Namun, berita utama yang dipublikasikan Al-Arabiya tidak menyebutkan jumlah korban jiwa warga Palestina, melainkan menyoroti klaim Israel bahwa serangan tersebut menargetkan pemimpin militer Hamas, Mohammed Deif.

Al-Arabiya juga hanya mengedepankan klaim Israel mengenai serangan ini dan tidak memberikan ruang untuk bantahan dari Hamas, apalagi kesaksian langsung dari warga Palestina yang menjadi korban serangan tersebut.

Bias serupa juga terlihat dalam liputan Al-Arabiya tentang ISIS setelah kelompok teroris tersebut menyerbu kota Mosul, Irak, pada Juni 2014. Abdul Rahman Al-Rashid memerintahkan agar ISIS disebut sebagai “revolusioner suku” dalam laporan mereka mengenai invasi Mosul, yang menyesatkan pemirsa dengan klaim bahwa ratusan ribu penduduk Mosul melarikan diri akibat serangan udara tentara Irak, bukan karena invasi ISIS. Senjata, peralatan, dan dana dari AS, Arab Saudi, dan Pemerintah Daerah Kurdistan disebut turut membantu ISIS merebut kota tersebut.

Sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini, dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa, militer Israel terus melakukan serangan yang mengarah pada genosida penduduk Palestina di Jalur Gaza, serta serangan di berbagai wilayah Tepi Barat. Pesawat tempur Israel menargetkan kawasan sekitar rumah sakit, gedung apartemen, dan rumah warga sipil Palestina. Selain itu, Israel memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Gaza.

Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza pada Kamis (19/09/2024) melaporkan bahwa jumlah korban tewas akibat serangan Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mencapai sekitar 41.272 orang, dengan 95.551 lainnya mengalami luka-luka, mayoritas korban adalah anak-anak dan perempuan. Sebanyak 10.000 orang dilaporkan hilang, sementara krisis kelaparan dan hancurnya infrastruktur terus memperburuk situasi kemanusiaan di Gaza.

Laporan dari otoritas Gaza dan lembaga internasional menyebutkan bahwa sekitar 90 persen atau 1,9 juta penduduk di Jalur Gaza terpaksa mengungsi akibat pemboman yang menghancurkan tempat tinggal mereka.

Di Tepi Barat, kekejaman Israel juga meningkat, dengan 708 warga Palestina, termasuk 146 anak-anak, dilaporkan tewas akibat kekerasan tentara dan pemukim Israel sejak 7 Oktober 2023. Lebih dari 5.600 warga Palestina terluka dalam berbagai insiden di kawasan tersebut.

Sumber: www.suarapalestina.com

(Hendra, S/rumah-muslimin)

Redaksi

Rumah Muslimin Grup adalah Media Dakwah Ahlusunnah Wal jama'ah yang berdiri pada pertengahan tahun 2017 Bermazhab Syafi'i dan berakidah Asyariyyah. Bagi sobat rumah-muslimin yang suka menulis, yuk kirimkan tulisannya ke email kami di dakwahislamiyah93@gmail.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
close