MENENTUKAN WAKTU IBADAH TERTENTU APAKAH BID'AH?
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Banyak kasus di mana beberapa tradisi di masyarakat dianggap bid’ah oleh sebagian kalangan karena dianggap mengandung unsur ibadah yang tidak memiliki tuntunan dari Allah dan Rasulullah. Contohnya adalah tradisi Tahlilan dan Yasinan, di mana ada kegiatan membaca Al-Qur’an dan dzikir pada hari-hari tertentu setelah kematian seseorang, serta tradisi peringatan Maulid yang melibatkan membaca shalawat dan sedekah pada momen Maulid tanpa tuntunan yang jelas dari agama.
Namun, apakah penentuan waktu seperti ini benar-benar masuk dalam kategori bid’ah? Jika kita melihat contoh dari masa Rasulullah dan para sahabatnya, kita akan menemukan bahwa Sahabat Bilal memperbanyak shalat sunnah pada waktu yang ia tentukan sendiri, yaitu setiap kali selesai berwudhu. Meskipun tidak ada tuntunan spesifik dari Rasulullah untuk melakukan hal ini, Bilal tetap melakukannya dengan keyakinan dan keikhlasan.
Tindakan Bilal menunjukkan bahwa berijtihad dan menggunakan akal sehat dalam menjalankan ibadah juga penting. Meskipun tidak ada tuntunan langsung dari Rasulullah, Bilal tetap berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan shalat sunnah sesuai kesempatan yang ia miliki.
Dalam Islam, bid’ah terbagi menjadi dua jenis, yaitu bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyiah (buruk). Bid’ah hasanah adalah inovasi yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bertujuan untuk meningkatkan kebaikan, seperti memperbanyak amalan sunnah. Sedangkan bid’ah sayyiah adalah inovasi yang bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat menyesatkan umat, seperti menambahkan ibadah baru yang tidak diajarkan oleh Rasulullah.
$ads={1}
Ternyata Nabi Muhammad bersabda pada Bilal:
فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الجَنَّةِ
“Sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di depanku di surga.” (HR al-Bukhari)
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bâri menjadikan hadits Bilal tersebut sebagai dalil kebolehan menentukan waktu khusus untuk ibadah yang memang tak terikat waktu.
وَيُسْتَفَادُ مِنْهُ جَوَازُ الِاجْتِهَادِ فِي تَوْقِيتِ الْعِبَادَةِ لِأَنَّ بِلَالًا تَوَصَّلَ إِلَى مَا ذَكَرْنَا بِالِاسْتِنْبَاطِ فَصَوَّبَهُ النَّبِيُّ ﷺ
“Dipahami dari hadits tersebut adanya kebolehan berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena Bilal sampai pada apa yang telah kami sebutkan itu dengan ijtihadnya, kemudian Nabi ﷺ membenarkannya.”
(Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, Juz III, halaman 34)
Hal yang sama juga dilakukan oleh sahabat Khubaib bin Adiy. Ia membuat sebuah tradisi baru yang tak pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ berupa shalat sunnah mutlak dua rakaat sebagai permintaan terakhir sebelum dibunuh. Dalam Shahih Bukhari diceritakan:
فَكَانَ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ عِنْدَ القَتْلِ.
“Dia (Khubaib bin Adiy) adalah orang pertama yang mentradisikan salat sunnah sebelum dihukum mati.” (HR al-Bukhari)
Ketika Khubaib berada di hadapan Rasulullah, dia tidak pernah bertanya apakah boleh shalat sunnah sebelum dihukum mati. Begitu juga dengan para Sahabat lainnya, tidak ada yang tercatat menanyakan hal yang sama kepada Rasulullah. Meskipun demikian, tindakan Khubaib yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat tersebut kemudian menjadi tradisi tanpa pernah disebut sebagai bid'ah oleh Nabi.
Penentuan waktu ibadah seperti yang dilakukan oleh Bilal atau Khubaib bukanlah bid'ah, karena Nabi sendiri mengakui kebaikan dari tindakan tersebut meskipun merupakan inovasi dalam agama. Jika penentuan waktu ibadah dianggap sebagai bid'ah, pasti Nabi akan melarangnya karena semua bentuk bid'ah dilarang dalam Islam. Namun, dalam konteks ini, bid'ah merujuk pada hal-hal baru yang buruk dan melawan aturan syariat yang telah ada sebelumnya.
Imam az-Zarkasyi, dengan menukil pernyataan Syekh Ibnu Durustawaih, menjelaskan maksud istilah bid’ah sebagai berikut:
هِيَ فِي اللُّغَةِ إحْدَاثُ سُنَّةٍ لَمْ تَكُنْ، وَتَكُونُ فِي الْخَيْرِ وَالشَّرِّ... فَأَمَّا فِي الشَّرْعِ فَمَوْضُوعَةٌ لِلْحَادِثِ الْمَذْمُومِ، وَإِذَا أُرِيدَ الْمَمْدُوحُ قُيِّدَتْ، وَيَكُونُ ذَلِكَ مَجَازًا شَرْعِيًّا حَقِيقَةً لُغَوِيَّةً.
“Bid’ah dalam perspektif kebahasaan adalah melakukan sesuatu yang tak ada sebelumnya, baik berupa kebaikan atau keburukan ... Adapun dalam perspektif syariat, maka dipakai sebagai istilah bagi hal baru yang tercela. Bila dimaksudkan adalah hal baru yang terpuji, maka harus diberi batasan (embel-embel semisal hasanah).
Istilah bid’ah dengan batasan ini adalah secara syariat adalah ungkapan majazi (konotatif) dan secara kebahasaan adalah ungkapan hakiki (denotatif).” (Badruddin az-Zarkasyi, al-Mantsûr Fî al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, juz I, halaman 217).
Menentukan waktu khusus untuk beribadah yang memang diperbolehkan oleh syariat untuk dilakukan kapan saja, seperti shalat sunnah mutlak, membaca Al-Qur'an, bersedekah, dan sebagainya, sebenarnya bukanlah hal yang melanggar syariat. Bahkan, Rasulullah ﷺ sendiri mengakui praktik-praktik ini. Secara syariat, hal-hal seperti ini tidak dapat disebut sebagai bid'ah. Jika pun ingin disebut sebagai bid'ah karena secara bahasa berarti hal baru, maka dapat diberi embel-embel seperti bid'ah hasanah, bid'ah mamdûhah, atau bid'ah mustahabbah. Istilah bid'ah dengan embel-embel semacam ini hanyalah dalam konteks bahasa, bukan dalam konteks syariat.
Imam Mutawalli, mencontohkan kasus “bid’ah” dalam perspektif kebahasaan yang tidak cocok dengan syariat dengan ungkapan:
بِأَنْ يَتَعَبَّدَ فِي وَقْتِ الْكَرَاهَةِ
(dengan cara dilakukan ibadah di waktu yang tidak disukai oleh syariat). (Badruddin az-Zarkasyi, al-Mantsûr Fî al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, juz I, halaman 217).
Jika seseorang ingin melarang kegiatan membaca surat Yasin, shalawat, atau dzikir tertentu saat seseorang meninggal, saat bulan Rabiul Awwal untuk Maulid Nabi, saat tasyakuran, atau waktu-waktu lain sesuai tradisi masyarakat, maka dia harus bisa memberikan alasan dari Al-Qur'an dan hadits yang mengatakan bahwa ibadah-ibadah tersebut dilarang pada waktu-waktu tersebut. Jika tidak bisa memberikan alasan tersebut, maka bisa jadi dia sedang menciptakan aturan baru atau melakukan bid'ah yang tidak diterima dalam agama. Wallahu a'lam..
Source: Kyai Abdul Wahab Ahmad
Editor & Penulis: Hendra, S/ rumah-muslimin
Demikian Artikel " Menentukan Waktu Ibadah Tertentu Apakah Bid'ah? "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -