KASYAF (MUKASYAFAH): PENGERTIAN, JENIS, CIRI-CIRI, DAN CONTOHNYA
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Istilah Kasyfah jika dilihat dari segi bahasa maka ia memiliki arti terbuka tirai. Secara definisi Kasyaf adalah karomah yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang dikasihi. Kasyaf dapat juga diartikan sebagai pembukaan tembok pemisah (hijab) antara manusia dan Allah SWT, sehingga mereka dapat melihat, merasakan, dan mengetahui hal-hal ghaib yang sulit dipahami oleh akal sehat. Kasyaf hanya dapat dicapai oleh mereka yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT.
Dalam salah satu karya monumentalnya yang berjudul Jami' Karamat Al-Auliya, Syaikh Imam Yusuf ibn Ismail An-Nabhani RA menjelaskan bahwa kasyaf merupakan pengalaman spiritual yang dialami oleh para wali Allah. Dalam kitab ini, terdapat biografi 695 wali Allah (tidak termasuk wali-wali di Asia Tenggara), dan terlihat jelas bahwa sebagian besar dari mereka memiliki kemampuan untuk mencapai mukasyafah. Di antara mereka adalah Imam Ghazali RA, Ibnu Arabi RA, dan Imam Syafi'i RA. Bentuk kasyaf yang mereka alami bervariasi sesuai dengan kondisi kehidupan masing-masing wali.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak mengajak kalian untuk banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.”
Dalam hadis lain yang terdapat dalam kitab Ihya Úlum Al-Din, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
”Seandainya bukan karena setan yang menyelimuti qalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah menyaksikan para malaikat gentayangan di jagad raya kita.”
Baca juga: Kasyaf Bisa Didapat Setiap Muslim dan Non Muslim
Macam-macam Kasyaf
Dzikir adalah cara bagi seorang hamba yang tidak memiliki kemampuan untuk tetap terhubung dengan Tuhan Yang Maha Sempurna dan pemilik segalanya. Al-Imam Abdul Wahhab Asy-Sya'rani ra. menjelaskan bahwa dengan terus menerus berdzikir (dawamud dzikir), keikhlasan akan menjadi sempurna dan hijab akan terbuka. Ada dua jenis ketersingkapan hijab atau kasyaf, yaitu kasyaf hissi dan kasyaf khayali. Kasyaf hissi adalah ketika pandangan kita terbuka dengan mata kita sendiri. Sedangkan kasyaf khayali adalah ketika tabir hati kita terbuka sehingga kita dapat mengetahui hal-hal di luar dunia indrawi seperti melihat jin, malaikat, menembus alam ruhani, mengetahui rahasia makhluk, dan lain-lain.
Ketersingkapan imajinatif atau kasyaf khayali ini bergantung pada kejernihan batin seorang salik, dan kejernihan batin ini bergantung pada konsentrasi dan kelanjutan dzikir yang dilakukan. Di dalam hati seorang hamba, setiap lapisan ruhani memiliki kejernihan batinnya sendiri, dan setiap penglihatan yang terlihat oleh kejernihan batin tersebut kadang-kadang bisa berupa tipuan dari setan atau hawa nafsu. Oleh karena itu, seorang salik harus tetap fokus pada dzikirnya, bukan pada bayangan atau penglihatan yang muncul dalam pikirannya. Ketersingkapan atau kasyaf yang terlihat oleh kejernihan batin kita kadang-kadang bisa berupa godaan atau tipuan dari setan, seperti yang terjadi pada Syekh Abdul Qadir al-Jailani qs. ketika beliau berada di padang pasir pada siang hari bulan Ramadan dan muncul cahaya yang mengaku sebagai Tuhan dan berkata "telah aku halalkan apa-apa yang aku haramkan".
Kasyaf khayali yang datang dari setan dalam perjalanan seorang hamba hanya bertujuan untuk membuatnya lalai dari dzikirnya dan terperdaya dalam perjalanannya. Godaan dan tipuan ini tidak dapat dicegah hanya dengan pengetahuan teoritis. Namun, dengan ilmu yang diberikan langsung oleh Allah, fokus dan penyerahan diri dalam dzikir dan perjalanan rohani sangat penting. Caranya adalah dengan mengkonsentrasikan tubuh, pikiran, dan hati pada dzikir.
Pertama, kita harus memahami makna dzikir yang diucapkan, kemudian tenggelam dalam makna tersebut. Kemudian, kita harus benar-benar larut dalam dzikir tersebut sehingga kita lupa dan tidak sadar bahwa kita sedang berdzikir karena kita telah larut dalam untaian dzikir itu sendiri. Ini adalah tanda bahwa kita telah hidup dan berada dalam asmaa' (Nama-Nama) yang kita dzikirkan.
Seseorang yang sempurna tidak akan sibuk dengan kasyaf dan karomah, tetapi ia hanya akan sibuk dengan Allah Sang Maha Pemberi Anugerah, karena hanya dari-Nya kasyaf dan karomah itu datang. Karena banyak orang yang tertipu dan berpikir bahwa kasyaf adalah hasil dari usaha dan wirid mereka. Falya’udz billaah
$ads={1}
Ciri-ciri Orang yang Kasyaf
Ada perbedaan pendapat terkait bagaimana ciri-ciri orang Kasyaf, namun kami akan membagikan secara umum ciri-ciri orang yang kasyaf:
1. Suka menyembunyikan diri dan tidak suka tempat keramaian
2. Tingkat kecerdasannya diatas rata-rata orang pada umumnya, sehingga mudah menyerap ilmu pengetahuan secara tersurat dan tersirat
3. Sering mengalami dejavu/tau kejadian yang akan terjadi namun tidak mau menceritakan
4. Batinnya lebih peka melihat kejadian alam
5. Dan tidak ingin orang lain mengetahui kelebih yang dia miliki
6. Sifat welas asih dan toleransinya pada sesama sangat tinggi
Baca juga: Perbedaan Pendapat Soal Hadirnya Rasulullah di Pembacaan Maulid
Ada beberapa kisah mengenai ulama-ulama yang memiliki ilmu kasyaf, salah satunya yang akan kami bagikan sebagai contoh yaitu Kedudukan Maqom Kasyaf Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA, berikut kisahnya:
Maqom Kasyaf Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA
Di dalam al-Quran juga terdapat petunjuk yang memungkinkan seseorang untuk mencapai pengalaman spiritual yang mendalam. Beberapa ayat memberikan isyarat tentang hal ini, salah satunya adalah ayat 37 Surah Qaaf. Ayat ini memberikan peringatan kepada mereka yang memiliki hati yang terbuka atau pendengaran yang peka, agar mereka dapat menyaksikan keajaiban-keajaiban Tuhan di sekeliling mereka.
Salah satu contoh nyata dari pengalaman spiritual ini adalah kisah Abul Fadhal Yusuf bin Muhammad RA, yang juga dikenal sebagai Ibnun Nahwi. Dia memiliki kesempatan langka untuk belajar dari seorang guru yang sangat bijaksana, yaitu Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA. Melalui bimbingan dan pengajaran sang guru, Ibnun Nahwi mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa.
Adapun ceritanya sebagai berikut:
Abul Fadhal Yusuf bin Muhammad RA yang terkenal dengan sebutan nama Ibnun Nahwi, pengubah qashidah al-munfarijah, pernah menceritakan bahwa suatu hari saya menghadiri majlis ilmu guruku Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA, dan pada saat itu beliau tergolong salah seorang pembesar ahli tasawuf di zamannya.
Maka kedua mataku menatap kepadanya dengan penuh kekaguman akan keluasan ilmunya, sembari berkata pada diriku, “Betapa tinggi derajat dan maqommu wahai guruku, namun, ia berada di tingkatan dan maqom yang mana??” dengan penuh penasaran, hatiku bertanya.
Baca juga: Bermimpi Rasulullah SAW Sebab Membaca Sirah Nabawiyah
Eh, ternyata dia tahu bisikan hatiku, dia langsung melihatku, lalu menghentikan perkataanya, seraya mengatakan, “Wahai Ibnu Nahwi, kedudukan dan maqomku adalah kedudukan dan maqom orang-orang yang berdosa dan ahli maksiat,” dengan penuh kerendahan beliau menjawab.
Akupun terkejut mendengar ucapanya itu, aku langsung diam, melihat begitu besarnya haibah beliau, lalu aku mendekat kepadanya dan berjabatan tangan, kemudian pulang.
Malamnya aku mimpi Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berada di tingkat yang sangat tinggi dan para sahabat berada di dekatnya, sementara para sholihin berkumpul di sekitarnya.
Lalu Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Dimana Tajuddin Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari?”
Maka dia mendekat kepadanya, dan berkata,”Iya, ini saya ya Rasulullah.”
Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Berbicaralah, karena Allah SWT senang dengan ucapamu, silahkan berbicara.”
Akupun terbangun, lalu esok harinya aku segera menemui guruku Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA.
Begitu sampai dan mendengar apa yang dituturkannya itu, ternyata sama seperti apa yang disampaikan di hadapan Baginda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang didengar dalam mimpinya semalam.
Maka aku langsung berkata pada diriku, “Ohh, ternyata itu maqomnya, sungguh sangat tinggi.”
Begitu bisikan hatiku itu berhenti, ternyata dia tahu, maka guruku Imam Ahmad Ibnu Athoillah Assakandari RA langsung menoleh kepadaku dan berkata kepadaku, “Wahai Ibnu Nahwi, apa yang belum kamu ketahui tentang diriku ini masih banyak.”
Penulis: rumah-muslimin
Demikian Artikel " Kasyaf (Mukasyafah): Pengertian, Jenis, Ciri-ciri dan Contohnya "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -