SENI MENYIKAPI STATEMENT OLEH SYEKH ALI JUM'AH
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Maulana Syekh Asyraf Sa'd al-Azhari menuliskan, bahwa ada metode berfikir yang ia ambil dari maulana Syekh Ali Jumah, yaitu:
ليس الفقيه من يقول أعمال الناس باطلة وعيشتهم حرا م ومعاملاتهم حرام... إنما الفقيه هو الذي يصحح أقوال الناس وأفعالهم ومعاملاتهم ما أمكن له ذلك.....
Kurang lebih artinya adalah orang yang paham fikih itu bukan orang yang gampang menyalah²kan perbuatan orang lain. Salat si A salah, ini haram, itu haram. Tapi orang yang paham fikih secara mendalam itu mereka yang berusaha agar apa yang orang lain perbuat dari salah menjadi benar. Kesalahan ucapan menjadi benar. Kesalahan muamalah orang lain itu benar. Tentu maksudnya tidak asal membenarkan, tapi membenarkan dengan ilmu.
Banyak pesan berharga dalam perkataan ini.
Di antaranya, sikap para masyayikh dalam berinteraksi dengan perkataan orang lain.
Sikap ini sangat berharga untuk kita terapkan dalam menyikapi statemen-statemen viral yang mana banyak dari kita yang hidupnya dipusingkan ngurusin statemen-statemen viral.
Beberapa orang, ada yang berusaha, setiap tokoh ormas A ngomong, gimana caranya biar salah, meskipun bener. Ini sikap yang tidak kami dapati dari para masyayikh. Malah sebalik, mereka ketika membaca ibaroh kitab, dan mendapati kesalahan, pasti mereka akan memaknai ibarah itu agar benar, dan tidak akan disalahkan kecuali kalau menyalahkan itu alternatif terakhir.
Sayyid Abdullah al-Jufri, sering kali mengatakan:
أقوال العقلاء محمولة على الصواب فضلا عن العلماء
perkataan orang-orang yang berakal, sebisa mungkin diarahkan kepada makna yang benar, apalagi kalau yang mengucapkan itu seorang ulama.
Pesan ini sering beliau kemukakan ketika beliau menjelaskan hukum salat di waktu-waktu terlarang, seperti setelah salat subuh, dll. Kita ketahui bahwa hukum salat di waktu-waktu tersebut adalah haram dan tidak sah, sebagaimana dirajihkan oleh Imam Nawawi dalam kita ar-Rawdhah dan al-Majmu' (pada bab Salat).
Beberapa fuqoha Syafiiyyah di antaranya Khathib Syirbini dalam al-Iqna' menuliskan bahwa hukumnya adalah makruh tahrim(juz 1, hlm. 411). Padahal ketika kita membaca Ushul Fiqih, dalam madzhab Syafi'i (dan jumhur ulama) tidak ada istilah makruh tahrim, karena yang membedakan antara haram dan makruh tahrim adalah ulama hanafiyah. Akan tetapi kenapa Khathib Syirbini di sini menggunakan istilah makruh tahrim? karena fuqoha Syafi'i terdahulu ada yang mengatakan bahwa hukum salat di waktu-waktu yang dilarang itu adalah makruh. Sehingga fuqaha mutaakhirin daripada menyalahkan ibaroh ulama terdahulu yang mengatakan makruh, lebih baik mengarahkan bahwa yang dimaksud dengan makruh dlam ibarah mereka adalah makruh tahrim yang semakna dengan haram.
$ads={1}
Kenapa demikian? Karena ucapan orang-orang yang berakal daripada disalahkan, lebih baik dimaknai agar jadi benar.
Sikap ini juga yang kami dapati dari Maulana Syekh Husam Ramadhan dalam pengajian-pengajian beliau. Seperti ketika beliau menjelaskan bait as-Sulam al-Munawraq dalam manthiq yang berbunyi:
ثم القياس عندهم قسمان * فمنه ما يدعى بالاقتران
وهو الذي دل على النتيجة * بقوة واختص بالحملية
Di sini Imam al-Akhdhari mengatakan bahwa qiyas iqtirani itu khusus bagi qadhiyyah hamliyah, beliau mengatakan :واختص بالحملية.
Contohnya: setiap manusia adalah makhluk hidup, dan setiap makhluk hidup itu bernafas, maka setiap manusia itu bernafas.
Ucapan ini secara zahir salah, karena ulama mantiq mutaakhirin berhasil membuktikan bahwa qiyas iqtirani juga bisa disusun menggunakan qadhiyyah syarthiyyah.
Contohnya:
Setiap matahari terbit maka ada siang,
dan setiap ada siang maka bumi akan terang,
kesimpulannya setiap matahari terbit maka bumi akan terang.
Maka syekh Husam mengarahkan pemaknaan ungkapan Imam al-Akhdhari di atas bahwa yang dimaksud bukan qiyas iqtirani itu hanya disusun dengan qadhiyyah hamliyyah, akan tetapi maksudnya adalah: hanya qiyas iqtirani yang bisa disusun dengan qadhiyyah hamliyyah tanpa dicampuri dengan qadhiyyah syarthiyyah seperti contoh di atas. Berbeda dengan qiyas istitsna'i, memang dia bisa disusun dengan qadhiyah hamliyyah, tapi harus dicampur dengan qadhiyyah syarthiyyah.
Contohnya:
Setiap matahari terbit maka ada siang,
Akan tetapi matahari terbit,
Kesimpulannya: maka ada siang.
Maka dari contoh ini kita bisa memahami bahwa meskipun qiyas istitsna'i bisa menggunakan qadhiyyah hamliyyah dalam susunannya (yaitu kalimat "matahari terbit" dalam contoh di atas), akan tetapi dia harus selalu dicampuri dengan qadhiyyah syarthiyyah (yaitu kalimat "Setiap matahari terbit maka ada siang").
Berbeda dengan qiyas iqtirani, hanya dia yang bisa disusun hanya dengan menggunakan qadhiyyah hamliyyah, tanpa tercampur qadhiyyah syarthiyyah. Dan dengan pemaknaan ini ungkapan imam al-Akhdhari dalam matan as-Sullam tidak salah.
Lagi-lagi disini kita melihat wujud dari sikap para masyayikh dalam berinteraksi dengan ungkapan-ungkapan orang lain, yaitu selama ungkapan orang yang berakal masih bisa diarahkan menjadi makna yang benar, maka arahkan ke sana, jangan malah disalahkan!
Wallahu a'lam.
Oleh: Mohamad Yusup
Demikian Artikel " Seni Menyikapi Statement Oleh Syekh Ali Jumah "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -