5 HAL DALAM MEMAHAMI HADITS DHAIF
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Banyak orang yang belajar ilmu hadis, khususnya ilmu jarh wa ta'dil atau dirasah sanad, tapi mereka enggan memahami manhaj usuliyun (ulama' usul fikih) dan fuqaha' (ulama' fikih) dalam menerima dalil. Mereka terkesan meremehkan hadis-hadis yang dibawakan oleh fuqaha' atau bahkan merasa memiliki kewajiban untuk memetakan mana hadis yang dhaif dan mana yang shahih. Alasannya adalah hadis dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak. Ini adalah kesalahan.
Otoritas ahli hadis adalah memastikan bahwa suatu informasi berasal dari Rasulullah. Sementara itu, usuliyun dan fuqaha' memastikan bahwa makna hadis tersebut shahih dengan syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, dalam menentukan keabsahan hadis, ahli hadis cenderung berbeda pendapat dengan ahli usul fikih dan ahli fikih. Dalam hal penguatan hadis (muqawwiyat), usuliyun dan fuqaha' lebih luas dan komprehensif daripada muhadditsin.
Baca juga: Cara Meriwayatkan Hadis Dhaif Agar Tidak Dikatakan Berdusta
Jika hanya sekedar memetakan saja, tanpa menghakimi atau menganggap bahwa hadis dhaif tidak boleh diamalkan secara mutlak, itu masih lebih baik. Namun, tidak pantas jika kita merasa seperti itu dan kemudian membuat buku khusus yang berjudul "Dhaif al-Muwaththa'" misalnya, sehingga pembaca awam menjadi terpengaruh dan menghakimi kitab al-Muwaththa' atau bahkan menyudutkan Imam Malik dan kurang menghormati ulama'.
Ada 5 hal yang perlu diperhatikan:
1. Hadis dhaif dalam ilmu hadis memang tidak boleh dijadikan dalil dalam masalah akidah dan hukum halal haram. Namun, ada pengecualian ketika hadis dhaif tersebut memiliki penguatan berupa ijma' ulama', ayat al-Qur'an, kaidah fikih yang umum, diterima oleh ulama' dalam amal dan fatwa, atau dilakukan qiyas. Dalam hal ini, hadis dhaif tersebut dapat dijadikan dalil hukum halal haram atau disebut maqbul. Menggunakan hadis dhaif sebagai dalil dalam hukum sunah dan makruh masih diperdebatkan oleh ulama'. Namun, banyak fuqaha' yang mengamalkannya dalam hal ini.
$ads={1}
2. Jika kita mengikuti pendapat ulama' yang mengatakan bahwa ada hadis dhaif dalam al-Muwaththa', bukan berarti kita harus mengesampingkannya agar tidak diamalkan. Membuang hadis dhaif secara mutlak atau menyamakannya dengan hadis palsu seperti yang sering dikemukakan oleh pengikut Syaikh Nashiruddin al-Albani adalah kesalahan dan bertentangan dengan ulama'.
3. Dakwaan sebagian ulama' bahwa Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Abi Hatim ar-Razi, Imam Ibn Ma'in, Imam Ibn Hibban, dan lain-lain tidak mengamalkan hadis dhaif secara mutlak, termasuk dalam fadhilah amal, masih perlu dikaji ulang karena terdapat data yang menunjukkan sebaliknya. Selain itu, tidak ada bukti ilmiah yang valid bahwa mereka menyamakan hadis dhaif dengan hadis palsu sehingga tidak menerima penguatan sama sekali seperti yang dijelaskan sebelumnya.
4. Hadis dhaif dapat berfungsi sebagai penguatan bagi hadis lain sehingga hadis dhaif tersebut naik menjadi hadis hasan lighoirih dan dapat dijadikan hujjah secara mutlak. Hal ini sering tidak disadari oleh orang awam yang kurang pengetahuan dan kurang menghormati ulama'.
5. Jika riwayat hadis dhaif banyak, maka hal tersebut dapat menjadikan keabsahan makna atau kisah aslinya (bukan lafaz atau matannya) sehingga dapat diterima. Ini juga sering tidak disadari oleh banyak orang.
Oleh karena itu, kita harus menentang narasi-narasi bahwa hadis dhaif secara mutlak tidak diterima dengan argumentasi yang ilmiah.
Demikian Artikel " 5 Hal Dalam Memahami Hadits Dhaif "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -