BADAL HAJI: HUKUM, PENGERTIAN, TATA CARA DAN PENDAPAT ULAMA
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Haji, ibadah yang menjadi impian bagi setiap umat Muslim di seluruh dunia. Setiap tahunnya, jutaan orang dari berbagai penjuru dunia membanjiri Tanah Suci Mekah untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima ini. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk menjalankan ibadah haji ini dengan segala keterbatasan yang ada. Di sinilah peran badal haji hadir sebagai solusi alternatif yang dapat membantu mereka yang tidak dapat melaksanakan haji secara langsung.
Badal haji, mungkin istilah ini masih terdengar asing bagi sebagian orang. Namun, di balik istilah yang mungkin terkesan teknis ini, tersimpan sebuah cerita yang penuh dengan kebaikan dan pengorbanan. Badal haji adalah suatu perwakilan atau pengganti yang ditunjuk untuk menjalankan ibadah haji atas nama orang lain yang tidak mampu melakukannya sendiri atau orang yang sudah wafat.
Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam beberapa ayat Al-Quran, seperti Q.S. Al-Ahzab, 33:62 yang berbunyi:
سُنَّةَ ٱللَّهِ فِي ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلُۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّةِ ٱللَّهِ تَبۡدِيلٗا
“Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah”.(Q.S. Al-Ahzab, 33: 62).
Hadits juga mendukung praktik haji badal, seperti hadits tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang ayahnya yang sudah tua dan tidak mampu berhaji. Rasulullah SAW mengizinkannya untuk melaksanakan haji atas nama ayahnya, berikut hadits yang dimaksud:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ اَلْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم. فَجَاءَتِ اِمْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ اَلْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصْرِفُ وَجْهَ اَلْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ اَلْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اَللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي اَلْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لَا يَثْبُتُ عَلَى اَلرَّاحِلَةِ، أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ. وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, Al-Fadhl bin Abbas menjadi pengawal Rasulullah saw. Lalu datang perempuan dari Khats’am (salah satu kabilah dari Yaman). Sontak al-Fadhl memandang perempuan itu dan perempuan itu pun memandangnya. Seketika itu pula Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl sisi lain (agar tidak melihatnya). Lalu perempuan itu berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban haji dari Allah kepada hamba-hambanya telah menjadi kewajiban bagi ayahku saat ia tua renta dan tidak mampu berkendara. Apakah aku boleh berhaji sebagai ganti darinya?” Rasulullah saw menjawab: “Ya.” Peristiwa itu terjadi dalam haji Wada
(Muttafaq ‘Alaih, dan ini redaksi al-Bukhari).
Selain itu, hal ini juga diperkuat dengan hadits lain tentang seorang wanita yang ingin melaksanakan haji atas nama ibunya yang sudah wafat. Rasulullah SAW mengizinkannya dengan analogi bahwa jika ibunya memiliki hutang, dia juga akan melunasinya.
$ads={1}
Hukum Badal Haji dalam Islam
Hukum badal haji ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Mayoritas ulama membolehkan haji untuk orang lain, namun Imam Malik menolak kebolehan badal haji. Ibadah haji untuk orang lain bisa dilakukan baik untuk orang yang masih hidup namun berhalangan, maupun untuk orang yang sudah meninggal dunia. Syarat-syarat untuk seseorang yang meminta dihajikan adalah sudah memenuhi kewajiban haji dan mengalami ketidakmampuan fisik. Syarat-syarat bagi orang yang menghajikan orang lain adalah terpenuhinya syarat sah haji bagi dirinya, dirinya sudah pernah berhaji, dan orang yang dihajikan meninggal dalam keadaan muslim.
Hukum badal haji dalam Islam adalah diperbolehkan. Pendapat mayoritas ulama seperti Mazhab Al-Hanafiyah, Asy-Syafi’iyah, dan Al-Hanabilah membenarkan adanya kebolehan ibadah haji yang dikerjakan oleh seseorang yang diniatkan untuk menghajikan orang lain. Dasarnya adalah karena Rasulullah SAW memberi izin kepada seseorang untuk berhaji atas nama orang lain. Selain itu, dalam beberapa hal, ibadah memang bisa dikerjakan oleh orang lain, terutama yang terkait dengan ibadah muamalah atau maliyah atau yang terkait dengan harta benda. Namun, Imam Malik menolak kebolehan adanya haji yang dikerjakan untuk orang lain, baik orang tersebut masih hidup atau sudah meninggal dunia. Menurut pandangan mereka, ibadah haji tidak bisa diwakilkan kepada orang lain karena termasuk jenis ibadah badaniyah yang tidak bisa diwakilkan.
Baca juga: Tidak Memakai Pakaian Ihram Saat Tawaf, Bolehkah?
Cara Badal Haji untuk orang Lain
Cara melaksanakan badal haji untuk orang lain adalah dengan memenuhi beberapa syarat. Pertama, orang yang meminta dihajikan harus sudah memenuhi syarat kewajiban haji dan mengalami ketidakmampuan fisik. Kedua, orang yang melaksanakan badal haji harus sudah memenuhi syarat sah haji bagi dirinya sendiri dan sudah pernah berhaji sebelumnya. Selain itu, orang yang dihajikan harus meninggal dalam keadaan muslim atau benar-benar tidak mampu untuk mengerjakan haji secara fisik.
Badal haji untuk orang lain dapat dilakukan dalam dua situasi.
1. Orang yang masih Hidup
Jika orang tersebut masih hidup namun tidak dapat melaksanakan haji sendiri karena sakit, usia tua, atau alasan lainnya. Dalam hal ini, orang tersebut diperbolehkan meminta orang lain untuk melaksanakan haji atas namanya. Referensi yang mendukung hal ini adalah hadits yang menceritakan tentang seorang wanita yang ingin melaksanakan haji atas nama ayahnya yang sudah tua renta.
2. Orang yang sudah Wafat
badal haji juga dapat dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Dalam hal ini, seseorang diperbolehkan melaksanakan haji atas nama orang yang telah meninggal. Referensi yang mendukung hal ini adalah hadits yang menceritakan tentang seorang yang bertanya kepada Rasulullah apakah dia boleh melaksanakan haji atas nama ibunya yang telah meninggal dunia, dan Rasulullah menjawab bahwa dia boleh melakukannya.
Jadi, cara melaksanakan badal haji untuk orang lain adalah dengan melaksanakan haji atas nama orang tersebut, baik itu orang yang masih hidup namun tidak dapat melaksanakan haji sendiri, maupun orang yang sudah meninggal dunia.
Sumber: Tanya Jawab Fiqih Haji (Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA)
Editor: rumah-muslimin
Demikian Artikel "Badal Haji: Hukum, Pengertian, Tata Cara dan Pendapat Ulama"
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -