MENGHINDAR DARI FANATIK GOLONGAN YANG TERCELA
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Sungguh perbedaan pandangan di kalangan ulama sampai kapanpun tak dapat dihindari. Perbedaan itu bahkan sudah ada semenjak Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam masih hidup.
Melihat perbedaan para ulama yang begitu ragam, perlu adanya sikap yang benar agar penuntut ilmu terhindar dari fanatik yang buruk.
Beberapa faedah yang kami dapatkan dari para masyayikh dalam menyikapi perbedaan pendapat antara lain :
Pertama : Tidak menjadikan perbedaan sebagai sumber perpecahan
Kedua : Saling memberi udzur dalam perkara khilafiyah ijtihadiyyah
Ketiga : Kebenaran hanya satu, namun tidak ada yang mengetahui kebenaran disisi Allah.
Sebelum masuk ke pembahasan inti dalam mempelajari fiqih, penuntut ilmu harus dibekali pemahaman yang benar agar ia terhindar dari sikap fanatik yang tercela serta menjauhi prasangka selalu merasa paling benar atas pendapat yang ia pijaki.
Untuk memahami point yang ketiga, penuntut ilmu harus difahamkan bahwa mayoritas kajian fiqih adalah dzonniyyah ijtihadiyyah yang kebenarannya relatif sesuai dengan pandangan masing-masing mujtahid.
$ads={1}
Berdasarkan pemahaman ini ia akan sadar bahwa selama perkara tersebut dihasilkan melalui pintu ijtihad maka tidak ada satupun yang tahu kebenaran disisi Allah subhanahu wata'la.
Setelah wafatnya Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam para sahabatpun berbeda pendapat dalam beberapa masail. Menariknya para sahabat sangat enggan menisbatkan pendapat yang dihasilkan melalui pintu ijtihad kepada Allah dan rasulNya.
Setiap hasil ijtihad yang dicetuskan selalu diakhiri dengan kata :
هذا رأيي إن كان صوابا فمن الله وإن كان خطأ فمني ومن الشيطان والله ورسوله منه بريء
Ini adalah pendapatku, jika benar maka dari Allah, dan jika salah maka ia dariku dan dari syaithan, Allah dan rasulNya terbebas dari kesalahan tersebut.
Para sahabat tidak pernah memaksakan manusia untuk mengikuti pendapatnya melainkan mereka saling menghargai perbedaan pendapat sesama mereka.
Baca juga: Manhaj Para Penguasa Kota Suci Mekkah
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan di Jami'ul Bayan al 'Ilm : Bahwa Pernah suatu ketika umar radhiyallahu 'anhu bertemu dengan seorang laki-laki yang baru saja bertemu dengan Ali dan Zaid radhiyalahu 'anhuma lantas ia bertanya :
Apa yang kamu perbuat? Laki-laki tersebut menjawab: Ali berpendapat demikian dan Zaid berpendapat demikian. Lalu umar menimpali : Seandainya saya dimintai fatwa niscaya saya putuskan dengan begini. Laki-laki itu berkata : Apa yang menghalangimu sedangkan anda berhak memutuskan demikian ?
Umar menjawab : Seandainya saya mendapati ada nash yang sharih dari kitabullah atau sunnah rasulNya saya akan berkata demikian. Namun ini hanyalah berdasarkan hasil ijtihadku, demikian jawaban Ali dan Zaid pun berdasaarkan ijtihad maka ijtihadku tidak bisa membatalkan ijtihad mereka
Belakangan ini, klaim sesuai sunnah, sesuai dalil sangat marak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin. Label tersebut seakan mengkavling bahwa inilah pendapat yang paling benar disisi Allah.
Penuntut ilmu yang paham karakter fiqih sebaiknya meninggalkan label-label tersebut dikhawatirkan melakukan tazkiyyah tidak pada tempatnya. Katakan bahwa ini adalah pendapat fulan, syaikh alan dan lain sebagainya.
Ketika mempelajari fiqih madzhab guru-guru kami selalu menasehati bahwa belajar madzhab hanyalah wasilah. Belajar madzhab bukan berarti menjadikan penganutnya meyakini bahwa pendapat madzhab yang paling benar disisi Allah, melainkan hanya sebagai pegangan seorang muqollid dalam beragama.
Oleh karena itu, pembelajar madzhab sangat lapang ketika disuatu kondisi dia harus keluar dari madzhabnya dan taklid kepada madzhab lain. Keluarnya ia bukan karena meyakini pendapat madzhab itu lemah melainkan ia belum mampu mengamalkan pendapat madzhab sehingga mengharuskan ia keluar dari madzhab imamnya dan taklid kepada imam yang lain.
Sikap seperti ini yang harus dimiliki setiap pembelajar fiqih sehingga ia tidak dzalim kepada mereka yang memilih pendapat yang berbeda.
Ketika mendapati suatu masalah, ulama A menghukumi bid'ah sedangkan ulama B menghukumi sunnah maka sikap penuntut ilmu yang paham karakter fiqih akan terlihat adilnya. Jika ia hanyalah seorang muqollid yang tidak bisa berijtihad sendiri maka siapapun ulama yang diikuti selalu ia nisbatkan bahwa yang inilah pendapat fulan.
Sangatlah berbahaya ketika seorang muqollid mengambil pendapat yang dihukumi bid'ah kemudian diyakini bag wahyu yang turun dari langit maka yang ada adalah keributan keributan dan keributan.
Efek dari konsep berfikir diatas maka ia akan ingkari pendapat yang berbeda layaknya amar ma'ruf nahi mungkar.
Ketika konsep berfikir seperti di atas tidak diperbaiki maka meskipun ia sudah lama belajar ia tidak akan pernah dewasa dalam berfiqih. Semua pendapat akan dibentur-benturkan yang pada akhirnya ia akan fanatik dengan pendapat yang ia ikuti.
Wallahul musta'aan
Oleh: Ustadz Muhammad Fajri
Demikian Artikel " Menghindar Dari Fanatik Golongan (Ashobiyah) Yang Tercela "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -