JIKA BERMAKSIAT BISA NIKMAT, MASA BERIBADAH TIDAK?
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Sebenarnya tidak ada yang nikmat dalam bermaksiat. Jika diteropong dengan kacamata fitrah, artinya secara hakikat tidak ada manusia yang nikmat dalam melakukan apa dan bagaimana pun jenis maksiat.
Tidak mengherankan jika banyak ungkapan bahwa perilaku maksiat sejatinya merugikan diri sendiri. Saintis dari berbagai bidang merilis berbagai hasil penelitian; psikologi misalnya mengungkap urgensi cara hidup berupa pergaulan atau lingkungan yang sehat. Ditekankan juga akan pentingnya sirkulasi sehat bersifat biologis dalam tubuh berpengaruh dalam tumbuh kembang jiwa seseorang.
Disiplin selanjutnya dalam merujuk ilmu kejiwaan tidak lain adalah (Ilmu) Filsafat. Pada beberapa dekade terakhir Filsafat merilis temuan bahwa kesehatan masyarakat (sosial) adalah dibangun dari individu yang sehat dari patologi atau ketidaknormalan pada sisi kemanusiaan.
$ads={1}
Dalam lingkup negara, patologi dapat dihindari dengan kebijakan yang sehat untuk menghasilkan masyarakat yang sehat dari berbagai penyakit kejiwaan sepertu alienasi oleh berbagai perkembangan khsusnya industri.
Namun bagaimana dengan realita, terdapat orang-orang yang melakukan kemaksiatan. Beberapa di antaranya bahkan senantiasa melakukannya dari hari ke hari kian beragam jenis pula jenis maksiatnya. Bahkan terdapat orang yang menjadikannya sebagai pergaulan atau lingkungan atau justru mata pencaharian.
Tidak sedikit juga dapat ditemukan orang-orang yang terjerumus dalam lingkaran hidup yang identik dengan kemaksiatan, bagaimana bisa? Kapan dia bisa menikmati hidup atau memberi ruang untuk fitrahnya merasakan kesejatiaannya?
Baca juga: Harta Dapat Membuat Orang Menjadi Lalai Atau Taat Kepada Allah
Kenikmatan Seorang Muslim
Rasul dan orang salih sangat nikmat saat berada dalam salat. Beberapa di antaranya mengaku diri menemukan kelezatan dalam salat. Rasulullah sendiri menyatakan cinta saat dalam salat. Sabda beliau Shallahu alaihi wa sallam: “tiga hal yang aku sukai dari kalian adalah wewangian, perempuan dan kecintaanku adalah dalam salat.”
Jika sudah ditemukan rumus dasar nikmat atau kebahagiaan dalam hidup, serta cara atau sikap terhadapnya, selanjutnya adalah pengamalannya. Artinya tidak ada jalan di luar kebenaran selain kesesatan. Maka jalan yang seharusnya diusakan untuk ditempub dengan berbagai cara adalah dengan menuju kebenaran.
Sejatinya tidak ada kebahagiaan berupa kenimatan dalam bermaksiat. Pemuasan diri, baik jiwa atau raga sejatinya berkesesuain dengan fitrah dan tidak melenceng darinya. Kesemuan maksiat terletak pada kesejatiannya dan nikmat hanya sebatas kenyataan zhahir saja, baik tampak oleh mata, dugaan, atau perasaan tanpa kebenaran (yang dapat dipertanggungjawabkan).
Pertanyaan yang lebih mendasar dan patut diajukan adalah, jika sudah begitu; apa benar pelaku maksiat bisa bahagia? Benarkah kebahagiaan yang ditampilkan adalah suatu kesungguhan? Maka jawabannya adalah hidup secara fitrah adalah kebahagiaan sejati. Menghindari maksiat dan menjalani cara hidup fitri adalah kebahagiaan yang sesunghuhnya.
Kontributor: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil, Penulis Lepas Yogyakarta
Demikian Artikel " Jika Bermaksiat Bisa Nikmat, Masa Beribadah Tidak? "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -