LATAR BELAKANG KONTROVRSI PELETAKAN KITAB DI LANTAI
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Hidup berdampingan sebagai masyarakat plural dengan etika berbeda dan budaya yang berbeda pula tak semudah yang dibayangkan, interaksi sosial yang dibina untuk merajut harmoni antara sesama kadangkala berakhir saling merajuk dan tak sesuai ekspektasi, perbedaan kultur seringkali mengkultuskan varian kode etik, lebih parahnya hal itu pula yang melatar belakangi munculnya mispersepsi, konflik dan transformasi hukum yang variatif.
Dihadapkan dengan kompleksnya masyarakat multikultural, sangat wajar jika meletakkan kitab salaf dilantai berkarpet saja menimbulkan konflik dan selisih persepsi yang agak sensitif, pasalnya bagi sebagian kalangan tindakan tersebut diklaim sebagai tindakan amoral (iha-nah) terhadap khazanah Islam termaksud khususnya daerah luar Madura, mereka yang pernah hidup menetap atau minimal mengenyam studi di pesantren luar Madura baik Jawa Timur ataupun Jawa Tengah tentunya sudah tak asing dengan suasana dan tarbiyah semacam itu. Namun realitas Pesantren di Madura memiliki kultur berbeda, meletakkan kitab salaf dilantai berkarpet merupakan tindakan yang sangat wajar bahkan terkesan afdhol saat moment tertentu. Sebaliknya, gaya Muthola'ah Sendenan sinau sambil bersandar yang juga sangat wajar di pesantren Jawa justru merupakan tindak amoral yang cukup dikecam dan mendapat interdiksi yang tegas dalam realitas pesantren Madura.
$ads={1}
Al-Imam Al-Qurtubi di bagian muqoddimah tafsirnya sempat mengutip Hadits dari Umar Bin Abdil Aziz yang berbunyi:
عن عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ: مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ في أرض، فقال لشاب من أهل هُذَيْلٍ: مَا هَذَا؟, قَالَ: مِنْ كِتَابِ اللَّهِ كَتَبَهُ يَهُودِيٌّ، فَقَالَ: "لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَلَ هَذَا, لَا تَضَعُوا كِتَابَ اللَّهِ إِلَّا مَوْضِعَهُ".
Dari Umar bin Abdil Aziz berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjumpai sebuah kitab dilantai beliau menanyainya pada seorang pemuda keluarga Hudzail, "apa ini?". Lalu pemuda itu menjawab "ini adalah kitab Allah yang ditulis oleh orang Yahudi". Rasulullah melanjutkan: "Allah melaknat orang yang melakukannya, Jangan kalian letakkan kitab Allah kecuali ditempatnya."
Hadits ini sangat merepresentasikan tarbiyah dan doktrin imperatif para Masyayikh diluar Madura, tendensi ini pula yang mungkin digunakan Syaikh Sulaiman Bin Muhammad Al-Bujairomi dalam statement nya:
وَيَحْرُمُ وَضْعُ الْمُصْحَفِ عَلَى الْأَرْضِ, بَلْ لَا بُدَّ مِنْ رَفْعِهِ عُرْفًا وَلَوْ قَلِيلًا
Senada dengan itu, Syaikh Ibnu Ziyad juga pernah mempublikasikan asumsi dan argumentasi guru-guru beliau dalam fatwanya:
افتى مشايخنا بانه لا يجوز وضع كتاب من كتب الشرع في الارض ويضع عليه كتابا ليطالع فيه او يقرأ لما فيه من الاستهانة بالعلم.
Mungkin itu hanya sekelumit referensi argumentatif dari ajaran Masyayikh dan Kiai kita diluar Madura, didukung faktor etika dan intervensi kultur budaya yang mendoktrin tindakan peletakan kitab dilantai sebagai bentuk Iha-nah yang tidak etis dilakukan.
Namun, menyikapi realitas budaya Madura yang justru eksis dengan gaya tersebut, jangankan diklaim amoral (Iha-nah) bahkan dalam momen-momen tertentu saja menjadi begitu diapresiasi dan terkesan Afdhol, setidaknya ada beberapa argumentasi dan referensi teoritis yang perlu kami cantumkan.
a. Kontroversi Mazhab (Khilafiyah)
Meskipun Ulama sekaliber Syaikh Sualaiman Albujairomi, Abul Fatah Al-Muzajjad dan guru-guru Abdir-Rohman Ibn Ziyad berasumsi tidak boleh, namun pentas Fuqoha tetap saja ramai dengan khilafiyah Mazhab yang menyajikan berbagai statement alternatif, seperti statement Syaikh Ali As-Syibromalisi yang dikutip Syaikh Syamsuddin Arromli dan Syaikh Abdillah As-Syarwani dalam karya-karya mereka;
وفي حج: ويحرم تمزيق المصحف عبثا؛ لأنه إزراء به وترك رفعه عن الأرض، وينبغي أن لا يجعله في شق؛ لأنه قد يسقط فيمتهن اهـ. (وقوله وترك رفعه) المراد منه أنه إذا رأى ورقة مطروحة على الأرض حرم عليه تركها، والقرينة عليه قوله عقب ذلك وينبغي إلخ، وليس المراد كما هو ظاهر أنه يحرم عليه وضع المصحف على الأرض والقراءة فيه خلافا لبعض ضعفة الطلبة
Hal serupa juga terimplisit dalam statemen Al-Imam Abul Mahasin Ar-Ruyani pada Bahrul Mazhab nya;
(فرع) لو كتب وهو محدث غير حامل له كان وضع اللوح على الأرض ولا يمسه إلا رأس قلمه, فإنه يجوز.
Senafas dengar statement Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyahnya yang cukup tegas memberikan legalitas;
وإذا نسخ منه أو طالع فيه فلا يضعه في الأرض مفروشا منشورا بل يجعله بين شيئين أو على كرسي لئلا ينقطع حبكه.
Syaikh Ibnul Imad Al-Aqfihsi juga sempat menjabarkan analisis hukum meletakkan Al-Qur'an dilantai, dan kesimpulan akhirnya hanya sekedar Makruh jika dikaitkan dengan hajat, sedikit berbeda dengan lahiriah redaksi-redaksi sebelumnya yang cendrung Muthlaq.
وبحث ابن العماد أنه يحرم أن يضع عليه نعلا جديدا أو يضعه فيه لأن فيه نوع امتهان وقلة احترام والأولى أن لا يستدبره ولا يتخطاه ولا يرميه بالأرض بالوضع ولا حاجة تدعو لذلك بل لو قيل بكراهة الأخير لم يبعد
b. Klaim Iha-nah Masih Asumtif
Klaim 𝘐𝘩𝘢-𝘯𝘢𝘩 yang menjadi faktor keharaman sebagaimana diasumsikan beberapa kalangan 𝘚𝘺𝘢𝘧𝘪'𝘪𝘺𝘢𝘩 sempat dikoreksi oleh Syaikh Muhammad Abi Bakar Al-Asykhor, beliau menolak jika praktek peletakan kitab dilantai dituding sebagai tindakan tak etis (𝘪𝘩𝘢-𝘯𝘢𝘩) terhadap sesuatu yang 𝘔𝘶'𝘢𝘥𝘻𝘻𝘰𝘮.
وخالفه عصريه محمد بن ابي بكر الاشخر فانه افتى بالجواز اي لأن دعور الاستهانة بذلك ممنوعة.
Argumentasi beliau sangat mungkin dilatar belakangi perbedaan kultur yang terjadi waktu itu, konsep 𝘪𝘩𝘢-𝘯𝘢𝘩 yang dinamis akan selalu berubah sesuai posisi dan situasi terjadinya lantaran tidak ada standar baku (dlobith) yang bisa dijadikan referensi. Sehingga konstruksi hukumnya harus dinegosiasikan dengan 'Urf setempat.
c. Adaptasi Kultural
Salah satu semboyan yanag cukup familiar dalam literasi Syafiiyah adalah,
التعيين بالعرف كالتعيين بالنص
"Identifikasi lewat kultur sebanding dengan identifikasi lewat Nash"
iha-nah yang terkonsep relatif tidak bisa semata-mata diklaim oleh kalangan atau pihak tertentu, berbeda posisi akan berbeda pula situasi dan kondisi yang mengcover, sehingga hukum Islam yang akan dirumuskan perlu diadaptasikan dengan kultur yang berlaku didaerah atau lokasi tertentu. Sebagaimana ditegaskan Syaikh Badruddin Az-Zarkasy dalam Qowa'id nya.
فإن (اتفق) (بها) عرف في بعض البلاد، (واشتهر) غير مطرد فيجري فيها في ذلك (البلد) الخلاف في أن العرف الخاص هل ينزل في التأثير منزلة العام، والظاهر تنزيله في أهله بتلك المنزلة انتهى.
Bahkan secara teoritis, statement dan referensi ulama salaf yang distandarkan pada kultur budaya, juga perlu diadaptasikan dan diselaraskan dengan kultur yang berlaku setelahnya, bukan justru dipatenkan dan dibuat komitmen baku yang tak boleh diganggu gugat. Sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Sulaiman Al-Jamal
والحاصل أن طريقة الشارح أن المعول عليه في كل ناحية عرفها الغالب فيها فما اقتضاه على المالك يكون عليه وما اقتضاه على العامل يكون عليه وطريقة شيخنا كحج أن لا نرجع إلى العرف الغالب في الناحية إلا فيما لم ينصوا على أنه على أحدهما وفيه نظر ظاهر لا يخفى على من له نوع تأمل لأن ما ذكروه إنما هو للعرف عندهم في أزمنتهم حتى لو تغير كان المعول عليه الثاني وقولهم العرف الطارئ لا ينسخ القديم لم يلتزموه اهـ. ح ل
Demikian sedikit analisis teoritis terkait perbedaan sudut pandang "meletakkan kitab dilantai" yang beberapa waktu lalu sempat diprotes oleh beberapa sahabat yang dirahmati Allah, semoga ulasan diatas bisa memberikan manfaat dan sedikit menjadi penawar atas Musykilat bersama.
Wallahu a'lam
NB: Tulis ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menolak, membantah, atau berselisih dengan Tarbiyah dan doktrin para Masyayikh di luar Madura, tulisan ini semata-mata untuk mengenalkan kultur dan realita Moralitas yang dianut dan menjadi komitmen dikalangan Masyarakat Madura.
Oleh: منهاج الطالبين
Demikian Artikel " Latar Belakang Kontroversi Peletakan Kitab di Lantai "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -