KILAS BALIK, KEADAAN KOTA TARIM DI TAHUN 2000-AN
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Andai dunia ini ada ujungnya, mungkin Tarim-lah ujung itu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini di tahun 2000, saya merasa amat terasing.
Tarim adalah sebuah kota kecil di Propinsi Hadhramaut. Besarnya tidak melebihi ibukota kecamatan di Indonesia. Dalam struktur pemerintahan di Hadhramaut, Tarim merupakan salah satu mudiriyah (distrik) di antara lima mudiriyah yang ada di propinsi itu.
Di awal tahun 2000, alias saat dunia ini sudah memasuki milenium ketiga, masih belum ada internet di kota ini. Kami mendapatkan kabar tentang tanah air dari download-an berita yang dibendel dan dikirim oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sana’a, ibukota Yaman. Bendelan-bendelan berita itu cukuplah untuk mengobati kerinduan pada tanah air, meski beritanya basi, karena yang kami baca adalah berita satu bulan sebelumnya.
Selain lewat kiriman berita dari kedutaan itu, kami memperoleh kabar tanah air dari radio BBC siaran Indonesia. Pukul empat sore, selama setengah jam, kami “istiqamah” menyimaknya di asrama kampus. Bila Anda pernah lihat film dokumenter di jaman Bung Karno, mungkin seperti itulah suasana saat kami mendengarkan berita radio kala itu. Satu radio, dikelilingi sekitar delapan sampai sepuluh pendengar.
Baru kemudian di tahun 2002, internet masuk ke Tarim. Warung-warung internet mulai bertebaran, meski pada mulanya harga aksesnya relatif mahal.
Sekitar satu tahun kemudian, setelah warnet makin banyak, harga penggunaan makin murah.
Ada satu kebijakan menarik untuk usaha-usaha yang menyediakan jasa internet ini di Yaman, di mana pengelola warnet diwajibkan menghadapkan layar komputer ke bagian luar, alias tidak menghadap ke tembok. Hal ini untuk mengantisipasi penyalahgunaan internet untuk hal-hal yang tidak dibenarkan.
Selain itu, biasanya di dinding-dinding warnet ditempeli peringatan-peringatan untuk tidak membuka situs-situs porno, dan tak jarang dengan disertai dalil-dalil. Wal hasil, suasana warnet seperti di dalam mushalla saja.
$ads={1}
Bila pemerintah Indonesia melalui Depkominfo baru mengeluarkan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk memblokir situs porno pada bulan April 2008, di Yaman pemblokiran itu sudah ada sejak awal tahun 2000. Setiap alamat atau contain situs yang mengandung kata-kata yang menjurus ke hal-hal porno, otomatis akan terkena blok.
Jadi, bila mengeklik menu yang sebenarnya tidak mengandung pornografi “seratus persen”, menu tersebut tidak akan bisa diakes. Misalnya di www.detik.com , di situ terdapat menu “detik hot”. Karena kata “hot” menjurus ke arah pornografi, menu tersebut tidak akan bisa dibuka.
Dus, meski sudah memasuki millenium ketiga, kami benar-benar merasakan “kehidupan ukhrawi” yang nyata di sini. Kaum wanita tidak berkeliaran di jalan. Kalaupun harus keluar rumah, semuanya bercadar.
Baca juga: Mengenal Pesantren Daruzzahra (Dar Al Zahra) Tarim, Yaman
Di pasar, penjual dan pembeli semua laki-laki, kecuali di suq al-nisa (pasar wanita). Di sana, dijual berbagai kebutuhan wanita. Sebenarnya tidak ada pemisah semisal pagar antara pasar umum dengan pasar wanita. Dengan kata lain, semua orang sebenarnya bisa masuk ke suq al-nisa itu, tapi orang lelaki akan merasa malu sendiri bila masuk ke sana. Karena baik pengunjung dan komoditi yang dijual semua serba wanita.
Di Tarim, juga di seluruh Propinsi Hadhramaut, tidak ada mall atau super market. Bahkan sepengetahuan kami, di seluruh daratan Yaman waktu itu baru ada satu mall, yakni di ibukota Yaman, Sana’a. Itupun “perkawinan” atau kerjasama antara perusahaan Matahari Indonesia dan perusahaan Shumaila Yaman. Mall yang berdiri tahun 2001 itu diberi nama Shumaila Hari. Shumaila dari Yaman, Hari dari Indonesia.
Menurut pengetahuan kami juga, di Yaman juga hanya ada satu bioskop, yakni di bilangan Haddah, Sana’a. Pendek kalam, istilah sebagian teman, kalau di Indonesia “mudah sekali” mendapatkan peluang maksiat, di Yaman, maksiat harus “dicari” dulu dengan susah payah.
Perbedaan lain, dulu kami di pesantren merasakan suasana islami saat berada di dalam lokasi pondok. Namun begitu keluar gerbang, kondisi sudah berbeda. Namun di Tarim, luar dan dalam lokasi kampus, semua sama.
Gerbang asrama kami memang terbuka dan baru ditutup pukul sepuluh malam, namun kami akan keluar ke mana dan mau apa? Untuk membolos kuliah pun kami harus pikir-pikir. Di “daerah di ujung” dunia seperti ini, agenda membolos harus diisi dengan apa? "Paling-paling" di kamar saja, karena tak ada mall untuk nongkrong. Tak ada tempat rekreasi untuk janjian sama mahasiswi sekampus. Duh, impossible.
Baik siswi maupun mahasiswi, semua harus menggunakan jasa antar jemput. Dunia mereka ya asrama dan kampus. Antara asrama dan kampus ya mobil atau bus jemputan itu. So, tak ada siswi-mahasiswi yang berkeliaran di jalanan atau pasar.
Bila dulu kami di Indonesia khawatir kepergok oleh keamanan pondok saat melanggar peraturan, di sini, seluruh penduduk kota seakan menjadi pengawas kami.
Baca juga: Amalan Agar Dapat Berkunjung Ke Kota Tarim
Masuk warung bagi thalibul ‘ilmu (mahasiswa, pelajar, atau santri) merupakan aib atau perbuatan tercela. Apalagi antara Maghrib dan Isya.
Kami sering mendapatkan nasihat dari seorang sopir taksi. Saat booming album Haddad Alwi Way of Live yang duet dengan Padi, kami membawa kaset itu ke Hadhramaut. Saat naik taksi, kami minta dia untuk memutar kaset kami itu. Eh, dia marah bukan main, karena meski baitnya islami, namun musiknya menurutnya sudah nge-rock. Dan dia nggak setuju.
Bila naik angkutan antara Tarim dan Seiyun, sebuah kota berjarak 25 Km di sebelah selatan Tarim, saat memasuki waktu shalat, sang sopir dengan sendirinya akan membelokkan kendaraannya ke masjid. Semua penumpang turun dan shalat. Masya Allah, benar-benar lingkungan kondusif untuk menuntut ilmu sekaligus menerapkannya dalam amal.
Tak heran, saat salah seorang dari Hadhramaut yang menjadi qadhi (hakim) di Mesir ditanya tentang bagaimana kalian (orang Hadhramaut) bisa menghafal ilmu dengan baik, sang qadhi itu menjawab, “Rabathna al-‘ilma bi al-‘amal (kami mengikat ilmu dengan praktik)”.
Pelajar dan mahasiswa Indonesia yang pernah mendapatkan kesempatan belajar di negeri hikmah ini, tentu amat berbahagia mendapatkan kesempatan itu. Rata-rata mereka mengenyam pendidikan di Hadhramaut selama empat tahun. Menurut ulama, “Man ‘asya ardhan arba’ sanawat nusiba ilaiha (barang siapa yang tinggal di suatu daerah selama empat tahun, berhak dinisbatkan pada daerah itu).”
Baca juga: Tarim Tempat Mencari Ketenangan Bukan Kesenangan
Meski nisbat al-Tarimi atau al-Hadhrami tak harus -dan tak pantas- disematkan di belakang nama kami, namun yang terpenting semoga barakah dan kebaikannya selalu mengiringi sepanjang hayat.
Wa lau kuntu Indunisiyan maulidan
Wa Jawiyan nasaban
Wa lakinni Tarimiyan taratan ukhra
Wa Hadhramiyan tsaqafatan wa ‘ilma
Walaupun aku terlahir di Indonesia
Dan sebagai orang Jawa secara nasab
Namun aku adalah seorang Tarim di lain waktu
Dan orang Hadhramaut dalam budaya dan ilmu
Oleh: Ustadz Faris Khoirul Anam
Demikian Artikel " Kilas Balik, Keadaan Kota Tarim di Tahun 2000-an "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jamaah -