MUDAH DALAM MEMAHAMI BID'AH
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Dalam memahami bid'ah, sebenarnya khilaf antara pihak yang menolak istilah bid'ah hasanah dan yang menerimanya adalah khilaf lafzhi atau khilaf yang tidak sesungguhnya. Sebab, ulama' yang menolak istilah bid'ah hasanah dalam agama karena sejak awal mendefinisikan bid'ah berbeda dengan ulama' yang setuju dan menerima bid'ah hasanah. Diantara ulama' yang menyatakan seperti ini adalah Imam Abdul Hayyi al-Laknawi, seorang ulama' muhaqqiq ahli hadits dari madzhab Hanafi.
Menurut ulama' yang menolak bid'ah hasanah, istilah bid'ah digunakan untuk setiap sesuatu yang baru yang tidak ada dimasa Nabi Muhammad ﷺ (muhdats) serta bertentangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma' atau kaidah syara'. Ini adalah definisi bid'ah secara syara' atau hakikat syar'iyah. Dan dengan mengikut definisi ini, maka tidak ada bid'ah yang hasanah dalam agama, sebab bid'ah secara syara' memang digunakan untuk sesuatu yang tidak baik atau lawan dari sunnah.
Lalu bagaimana dengan sesuatu yang tidak ada di masa Rasulullah ﷺ tetapi tidak bertentangan dengan al-Qur'an, as-Sunnah, dan al-Ijma'? Jawabnya, ia tidak boleh disebut bid'ah secara syara', tetapi disebut sunnah (ghairu muttaba'ah) atau bid'ah dengan qayid hasanah.
Sementara ulama' yang setuju dengan pembagian bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah adalah karena memahami istilah bid'ah secara aspek hakikat lughawiyah (bahasa). Yaitu, setiap sesuatu yang baru yang tidak wujud pada masa Rasulullah ﷺ. Dan yang tidak wujud di masa Rasulullah ﷺ ada yang baik dan ada yang buruk sesuai dengan apakah ia melanggar kaidah syara' atau tidak. Salah satu ulama' salaf yang mendefinisikan bid'ah seperti ini adalah Imam asy-Syafi'i yang kemudian diikuti oleh banyak sekali ulama'.
Baca juga: 7 Ciri-ciri Golongan Islam Ideologi Takfiri
Walhasil, hakikatnya dua definisi diatas tidak saling berlawanan dan dua-duanya juga diterima ulama'. Maksudnya, jika bid'ah dimaknai secara syari'at, maka bidah tidak dibagi sama sekali. Tetapi jika bid'ah dimaknai secara lughat, maka bid'ah dibagi menjadi dua atau lima sesuai dengan kaidah-kaidah dalam syariat.
$ads={1}
Maulid Nabi Muhammad ﷺ, misalnya. Ia memang baru atau tidak ada di masa Rasulullah ﷺ. Akan tetapi karena ia tidak menyelisihi kaidah syari'at didalam al-Qur'an, as-Sunnah dan al-Ijma', maka ia tidak bisa disebut dengan bid'ah (jika memaknai bid'ah secara syar'iat) atau boleh disebut bid'ah hasanah (mengikuti definisi bahasa). Dan sekali lagi, khilaf ini adalah khilaf lafzhi, bukan khilaf hakiki.
Kesimpulannya:
1. Muhdats (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi ﷺ) ada yang baik dan ada yang buruk. Ini adalah kesepakatan. Yang baik tidak disebut bid'ah (secara syara') atau boleh disebut bid'ah hasanah (secara bahasa) dan yang buruk boleh disebut bid'ah atau bid'ah dhalalah.
Hadits Nabi ﷺ yang menjelaskan pembagian ini adalah sabda berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa yang mengada-ngadakan sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang tidak ada darinya (tidak ada landasan darinya), maka ia tertolak" (HR. Bukhari dan Muslim)
Secara mafhum, hadits ini membagi muhdats dengan yang memiliki dalil dari agama dan yang tidak. Dan ucapan Imam asy-Syafi'i dalam pembagian bid'ah adalah merujuk kepada hadits ini.
2. Dalam memahami hadits Nabi Muhammad ﷺ yang berbunyi:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat" (HR. Timidzi, Ahmad, Abu Dawud dan Ibn Majah).
Hadits ini berlaku umum (tidak ada bid'ah hasanah) yang tidak ditakhsis (dibatasi) jika kita memahami bid'ah secara istilah syari'ah seperti diatas. Tetapi bagi yang memahami bid'ah secara hakikat lughat, maka hadits diatas harus ditakhsis ('am makhsus), yakni khusus bid'ah-bid'ah yang tercela atau yang melanggar kaidah syara' saja. Adapun bid'ah yang hasanah tidak masuk dalam hadits tersebut.
Baca juga: Kontradiksi Wahabi dalam Memilih Pemimpin Sistem Demokrasi
3. Mayoritas ulama' menerima dua definisi diatas dan juga menerima istilah bid'ah hasanah.
Lalu bagaimana dengan Salafi Wahabi?
Salafi Wahabi bertaqlid kepada ulama' yang menolak bid'ah hasanah dan lalu menambahkan kaidah yang gharib atau aneh bahwa setiap yang tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ atau salaf adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat (haram). Ulama' yang dimaksudkan adalah Imam asy-Syathibi, ulama' Asy'ariyah yang bermadzhab Malik. Tetapi mereka sendiri tidak konsisten, sebab mereka selalu menolak setiap hal baru yang tidak dilakukan Nabi Muhammad ﷺ (muhdats) atau tidak dilakukan oleh ulama' salaf sementara Imam asy-Syathibi tidak demikian. Saat terdesak, mereka berkilah dengan menerima maslahah mursalah yang diterima Imam asy-Syathibi atau ulama' Malikiyah. Padahal maslahah mursalah sendiri termasuk hal baru yang juga tidak dilakukan oleh Nabi ﷺ.
Mereka juga mendakwa bahwa ijtihad Imam asy-Syathibi sebagai satu-satunya kebenaran dalam memahami hadits-hadits bid'ah, tetapi disisi lain, mereka juga membantai akidah beliau yang Asy'ariyah.
Oleh: Kyai Nur Hidayat
Demikian Artikel " Mudah dalam Memahami Bid'ah "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -