KISAH MESUM AL-HALLAJ
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Pernah al-Ḥallāj malam-malam mau menyetubuhi menantunya. Sang menantu enak-enak tidur, tiba-tiba bapak mertua sudah menindihnya.
Sontak sang menantu terbangun kaget ketakutan dan mengecam perbuatan tersebut.
“Apa-apaan sih?!”
Mungkin begitu bahasanya kalau zaman sekarang.
Apa dalih al-Ḥallāj saat kepergok perbuatan mesumnya?
Dengan tanpa rasa bersalah ia berkata,
“Aku cuma mau membangunkan kamu untuk salat kok”
Al-Żahabī menceritakan kisah mesum al-Ḥallāj ini sebagai berikut,
«قَالَتْ: وَكُنْتُ لَيْلَةً نَائِمَةً، فَمَا أَحسَستُ بِهِ إِلَاّ وَقَدْ غَشِيَنِي، فَانتَبَهتُ مَذْعُوْرَةً مُنكِرَةً لِذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّمَا جِئْتُ لأُوقِظَكِ لِلصَّلَاةِ». [«سير أعلام النبلاء - ط الرسالة» (14/ 338)]
Artinya,
“Dia (menantu al-Ḥallāj) berkata, ‘Suatu malam aku tidur. Aku tidak terasa sampai dia (al-Ḥallāj) menindihku. Aku jadi terbangun dalam keadaan ketakutan seraya mengingkari hal tersebut. Dia berkata, ‘Aku datang cuma ingin membangunkanmu untuk salat” (Siyaru A‘lāmi al-Nubalā’, juz 14 hlm 338)
Setelah al-Ḥallāj gagal menyetubuhi wanita yang jadi menantunya karena kepergok duluan, maka diapun pergi. Sang menantu lanjut tidur. Ditemani putri al-Ḥallāj. Putra al-Ḥallāj yang jadi suami menantunya sedang di kota lain.
Paginya, al-Ḥallāj turun dari tempatnya. Mungkin lokasi tidur al-Ḥallāj di lantai atas atau ruang yang lebih tinggi dari tempat tidur sang menantu sehingga dalam riwayat disebut “turun”.
Begitu sang putri melihat ayahnya turun, dia berkata kepada sang menantu,
“Sujudlah kepada ayahku!”
Tentu saja sang menentu keheranan. Dengan nada mengingkari dia berkata,
“Masak sujud kepada selain Allah?!”
Al-Ḥallāj yang mendengar percakapan itu mengomentari,
“Ya. Tuhan di langit dan tuhan di bumi”
Al-Żahabī menulis ucapan menantu al-Ḥallāj yang mengisahkan peristiwa tersebut sebagai berikut,
«وَلَمَّا أَصبَحنَا وَمَعِي بِنْتُه، نَزَلَ، فَقَالَتْ بِنْتُهُ: اسجُدِي لَهُ. فَقُلْتُ: أَوَ يُسْجَدُ لِغَيْرِ اللهِ؟! فَسَمِعَ كَلَامِي، فَقَالَ: نَعَمْ، إِلَهٌ فِي السَّمَاءِ، وَإِلَهٌ فِي الأَرْضِ». [«سير أعلام النبلاء - ط الرسالة» (14/ 338)]
Artinya,
“Tatkala tiba waktu pagi sementara aku waktu itu bersama putrinya (al-Ḥallāj), maka al-Ḥallāj turun. Putrinya berkata, “Bersujudlah kepadanya”. Aku bertanya, ‘Apakah (boleh) sujud kepada selain Allah?’ Dia (al-Ḥallāj) mendengar ucapanku kemudian berkata, ‘Ya, tuhan di langit dan tuhan di bumi’” (Siyaru A‘lāmi al-Nubalā’, juz 14 hlm 338)
Tampak dari kisah di atas bahwa al-Ḥallāj “sukses” mendoktrin putrinya tentang “kemuliaan” dan “keagungan” sang ayah sampai level memandang bahwa sang ayah layak disujudi!
Tampak pula dari komentar al-Ḥallāj yang mengatakan “Ya” saat sang menantu bertanya mengingkari, bahwa al-Ḥallāj punya paham boleh sujud kepada selain Allah. Sebab kata na’am dalam bahasa Arab itu memperkirakan pengulangan pertanyaan dalam bentuk afirmasi. Misalnya orang mengatakan, “hal anta ṭālib?” (apakah kamu mahasiswa?) jika dijawab, “naam”, maka itu bermakna “naam, anā ṭālib” (ya, saya mahasiswa). Jadi ketika al-Ḥallāj mengatakan na‘am saat mengomentari pertanyaan menantunya, maka itu bermakna, “Na‘am, yusjadu ligairillāh” (ya, boleh sujud kepada selain Allah)
Makna yang lain lebih ngeri. Ucapan al-Ḥallāj yang berbunyi,
إِلَهٌ فِي السَّمَاءِ، وَإِلَهٌ فِي الأَرْضِ
Artinya,
“Tuhan di langit dan tuhan di bumi”
Kalimat di atas memberi kesan al-Ḥallāj mengaku sebagai tuhan!
Sebab, seakan-akan dia mengatakan begini,
“Iya wahai menantuku. Boleh kok sujud kepada selain Allah. Karena pada hakikatnya engkau itu bukan sujud kepada makhluk, tapi engkau sujud kepada Allah juga. Saat engkau salat, maka engkau sujud kepada Tuhan yang ada di langit. Saat engkau sujud kepadaku, maka engkau sujud kepada Tuhan yang telah menitis pada ragaku. Jadi hakikatnya engkau sujud juga kepada tuhan, hanya saja tuhan yang berada di bumi. Aku ini sudah mencapai level kerohanian yang sangat tinggi, sudah makrifat, sudah fanā’, sehingga lebur ke”aku”anku pada diri tuhan sehingga sudah tidak ada bedanya lagi antara aku dengan tuhan!”
Ucapan al-Ḥallāj mengomentari menantunya ini mengkonfirmasi paham ḥulūl yang dinisbahkan kepadanya. Konsepsi dasar ḥulūl itu memang inkarnasi. Penitisan. Mula-mula mungkin roh nabi-nabi yang dianggap menitis. Lama-lama jika dianggap sudah mencapai level kerohanian tertinggi, maka Allahlah yang dianggap langsung menitis sehingga jasad yang dirasuki layak untuk disujudi dan layak disembah!
Karena itu dalam tulisan sebelumnya saya sudah mengingatkan bahaya kelompok yang mengajarkan penitisan roh Nabi Muhammad ﷺ atau keluarga beliau pada pemimpin kelompok tersebut atau keluarganya atau murid-muridnya. Itu pelan-pelan akan menggiring pada kemusyrikan.
Perbuatan sujud kepada manusia seperti itu jelas sebuah kebodohan. Al-Nawawī tegas mengatakan dalam al-Majmū’, bahwa mereka orang-orang tolol yang melakukan perbuatan seperti itu. Sujud kepada manusia, meskipun pada mursyid agung, syaikh sufi yang dianggap wali dan semisalnya adalah perbuatan haram secara pasti tanpa mempedulikan apakah niatnya sujud kepada Allah maupun tanpa niat apapun. Sebagian bentuk sujud kepada selain Allah adalah kekafiran jika sifatnya menyembah selain Allah atau bertaqarrub kepadanya. Al-Nawawī berkata,
«مَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنْ الْجَهَلَةِ مِنْ السُّجُودِ بَيْنَ يَدَيْ الْمَشَايِخِ بَلْ ذَلِكَ حَرَامٌ قَطْعًا بِكُلِّ حَالٍ سَوَاءٌ كَانَ إلَى الْقِبْلَةِ أَوْ غَيْرِهَا وَسَوَاءٌ قَصَدَ السُّجُودَ لِلَّهِ تَعَالَى أَوْ غَفَلَ وَفِي بَعْضِ صُوَرِهِ مَا يَقْتَضِي الْكُفْرَ أَوْ يُقَارِبُهُ عَافَانَا اللَّهُ الْكَرِيمُ». [«المجموع شرح المهذب» (4/ 69)]
Artinya,
“Apa yang dilakukan sejumlah orang tolol yang sujud di depan masyayikh, itu adalah haram secara pasti dalam kondisi apapun. Sama saja apakah menghadap kiblat atau selain kiblat. Sama juga apakah, memaksudkan sujud kepada Allah atau dengan hati lengah. Dalam beberapa kondisi sujud bisa mengantarkan pada kekafiran atau mendekatinya. Semoga Allah Yang Maha Mulia menjaga kita dari hal itu” (al-Majmū‘, juz 4 hlm 69)
$ads={1}
Al-Ḥallāj inilah yang tasawufnya mengajarkan konsepsi ḥulūl (الحُلُوْلُ) atau inkarnasi (incarnation/infusion). Yakni sebuah paham yang mengajarkan bahwa tuhan bisa menitis pada hamba.
Pemikiran seperti ini yang membuat Nabi Isa hari ini disembah milyaran orang.
Pemikiran seperti ini pula yang bisa jadi menyebabkan Dajjal Akbar di akhir zaman akan disembah oleh hampir seluruh penduduk bumi.
Pemikiran seperti ini pula yang menyebabkan oknum sufi sesat mengatakan “Wajar Nabi Isa disembah” atau “Jika orang menyembah Nabi Isa tapi yang kelihatan sifat Allah, maka dia muwaḥḥid/ahli tauhid”. “Nasrani penyembah nabi Isa yang meniatkan menyembah Allah, maka selamat”, dan kalimat-kalimat kufur semisal.
Baca Juga: Tasawuf Salah Satu Disiplin Ilmu dalam Islam
Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Demikian Artikel " Kisah Mesum Al-Hallaj "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -