AGAR TIDAK MENJADI PENJAHAT ILMU
RUMAH-MUSLIMIN.COM - "Apa saja bisa berbahaya di tangan manusia", begitu kata seorang sastrawan itu. Dan, memang, semua hal sama punya potensi berbahaya dan bermanfaat di tangan manusia, tak terkecuali ilmu. Bahkan sekalipun itu ilmu syariat tetap saja manusia bisa mengalatinya menjadi berbahaya bagi orang lain dan tentunya bagi dirinya sendiri. Setali tiga uang juga bahwa di tangannya ilmu syariat, yang hakikatnya membawa berkah dan kemaslahatan, menjadi kemaslahatan bagi orang lain dan dirinya.
Untuk itulah, kita akan kembali atau bertambah yakin bahwa benar belaka ujaran Imam Ghazali perihal bahwa hanya ilmu akhirat (mukasyafah) yang hanya memiliki satu sisi; menjadi kemaslahatan bagi dirinya. Sedangkan ilmu dunia, menurut klasifikasi beliau, masih sama dengan ilmu non-syariat; memiliki dua sisi potensi bencana dan anugerah.
Faktanya, begitu berjibun kenyataan menyajikan bahwa ilmu syariat di tangan manusia yang didasari oleh keimanan sungguh dan dilindungi oleh ketakwaan penuh, pada babak tertentu, potensi bahayanya begitu kecil dan ilmu itu pula yang menjadi “software” untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Apa sebab? Itulah adanya dua perkara krusial tersebut. Keimanan yang kodratnya adalah kepercayaan kepada Tuhan, dan ketakwaan yang dalam prosesnya menumbuhkan sikap untuk selalu "wiqayah", menjaga diri dari siksa, dalam perjalanannya sendiri membuat pemilik ilmu sadar diri dan menggunakan ilmu yang ada di tangannya dengan benar dan baik.
Sedangkan ilmu syariat yang tidak diikat oleh takwa dan didasari iman, jangan tanya, potensi bencana lebih besar ketimbang maslahatnya. Contoh? Ai, banyak sudah kenyataan mendedah orang yang kita anggap punya ilmu syariat tapi tidak berlaku layaknya ilmu yang dimiliki, bahkan kadang tidak lebih tinggi dari binatang. Kerusakan dan bencana timbul dari barat hingga timur dunia, minimalnya kerusakan bagi diri sendiri. Kesalahan dan kebejatan dilakukan atas nama ilmu.
$ads={1}
Sementara itu, penyematan label-label agung dan mulia, diberi label alim, berikut dengan segala kehebatan pahala bagi penafsir maksud Tuhan dan Rasul yang termuat dalam nas-nas syariat hanyalah ditujukan kepada mereka yang bertindak atas kehendak ilmu syariat, ‘alim rabbany istilah kerennya. Sedangkan orang yang memiliki ilmu syariat itu, tapi tindak tanduknya bukan berdasarkan ilmunya, tentulah label-label itu tak pantas disemat olehnya, biarpun pengikut dan umatnya ‘meukuboh ie babah’ memanggilnya dengan ustadz, abi, waled, kyai, gus, dan sematan sosial lainnya.
Demikian, itulah dikatakan alim, yang benar-benar alim akan tahu dan sadar diri penuh, tindak-tanduknya diupayakan tidak keluar dari zona kehendak ilmu syariat. Meski kadang juga terpeleset dalam kesalahan dan kekeliruan sebab dia masih manusia, tetapi itu tidak membuatnya nyaman dalam kesalahan dan lekas-lekas beranjak untuk kembali ke jalurnya yang benar.
Lantas, bukankah sadar diri walau sudah terlanjur menganggap diri sebagai “ksatria” Tuhan, hingga memiliki pesantren, lalu berkenalan dengan diri sendiri, menemukan cela-bejat, untuk kemudian diobati lebih segera dibutuhkan? Sebagai jaga-jaga saja agar kita tidak menjadi penjahat atas sebutan Alim.
Tabik,
Oleh: Zuhdi Anwar
Demikian Artikel " Agar Tidak Menjadi Penjahat Ilmu "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -