MUKJIZAT DALAM PERSPEKTIF ISLAM
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Pembuka artikelnya Isra Yazicioglu, “Redefining the Miraculous: al-Ghazālī, Ibn Rushd, and Said Nursi on Qur’anic Miracle Stories”, yang terbit di Journal of Qur’anic Studies tahun 2011 lalu, mengurai latar belakang yang menarik. Dalam pandangannya, Al-Qur’an mengisahkan cerita tentang mukjizat dalam sikap yang mendua. Di satu sisi, Al-Qur’an bercerita bahwa mukjizat adalah anugerah Tuhan untuk para Nabi sebagai ‘bukti’ kebenaran kabar yang mereka bawa. Di sisi lain, Al-Qur’an mengecam orang-orang kafir yang menuntut didatangkan mukjizat secara segera, seperti minta segera diturunkan malaikat agar bisa mereka lihat face to face.
Menurut Isra Yazicioglu, persoalan dualisme sikap ini menuntut kita merumuskan metode tafsir yang tepat untuk memahami cerita mukjizat dalam Al-Qur’an. Dari situ, artikel Isra Yazicioglu menguraikan metode tafsir yang ditawarkan oleh ketiga tokoh yang disebut dalam judulnya.
Patut diakui, problem kemenduaan sikap Al-Qur’an itu sangat menarik ditelusuri. Kitab-kitab Ilmu Kalam sudah banyak yang membahas aspek mukjizat sebagai salah satu hal yang wajib diimani oleh kaum Muslim, namun jarang ada kitab yang khusus memuat jawaban atas problem di atas. Tulisan ini tidak akan mengetengahkan uraian artikel itu mengenai metode-metode tafsir yang ditawarkan oleh para tokoh Muslim itu. Di sini hanya akan dijabarkan sikap kedua Al-Qur’an akan kisah-kisah mukjizat, yakni kecaman Al-Qur’an pada mereka yang menuntut segera dikasih mukjizat.
Ada banyak ‘model’ tuntutan orang kafir untuk segera diturunkan mukjizat. Mereka berulah semacam kaum nyinyir pada Nabi, meminta diperlihatkan ‘hal-hal ajaib’ hanya untuk menghancurkan reputasi Nabi. Suatu kali mereka meminta dikasih lahan subur dan ladang anggur saat itu juga, padahal mereka hidup di Makkah yang tanahnya hanya pasir. Mereka juga pernah meminta dikasih rumah dari emas. Mereka pernah meminta agar langit diturunkan, juga pernah meminta Nabi agar naik ke langit dan segera turun membawa Kitab.
Singkat kata, mereka menuntut bukti berupa hal-hal ajaib kepada Nabi. Tujuannya tidak lain merontokkan reputasi Nabi. Motif mereka hanya ‘inād, kata orang Arab.
Namun ada satu orang yang oleh Al-Qur’an dikisahkan meminta hal ajaib, langsung kepada Tuhan, dan Al-Qur’an tidak menyebutkan kecaman padanya. Orang itu adalah Nabi Ibrahim, sang kekasih Allah.
Nabi Ibrahim dikisahkan meminta Tuhan memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang mati. Lalu terjadilah dialog singkat namun menyiratkan makna tiada terkira. “Apakah engkau tidak percaya?” kata Tuhan. Nabi Ibrahim menjawab,”Saya percaya, tapi agar hati saya tenang.”
$ads={1}
Dialog singkat itu menunjukkan bahwa motif Nabi Ibrahim meminta diperlihatkan hal ajaib itu bukan untuk meruntuhkan reputasi orang lain, melainkan untuk memantapkan hatinya dalam keimanan. Apa yang membedakan Nabi Ibrahim dari kaum kafir tadi adalah motivasinya. Satu hal inilah, yakni motivasi, yang membuat Nabi Ibrahim lolos dari kecaman, bahkan mendapat pujian dari Al-Qur’an.
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa orang-orang beriman memberi makna kepada hal-hal ajaib sebagai pemantap iman. Dan tahukah engkau apa hal ajaib yang terjadi di alam semesta sejak dulu hingga kini? Para bijak bestari telah memberi tahu kita bahwa fenomena penciptaan di alam semesta ini adalah sesuatu yang ajaib.
Fenomena penciptaan adalah fenomena sehari-hari yang sering kita lihat. Setiap hari kita lihat terdapat berjuta-juta penciptaan: mekarnya kuncup bunga, tetes embun di bulan Agustus, kerlap-kerlip bintang di malam musim kemarau, juga cinta di pandangan pertama. Semua itu, kata kaum bijak bestari, adalah keajaiban-keajaiban yang disediakan untuk kita.
Keajaiban-keajaiban itu begitu seringnya kita lihat, hingga kita menganggapnya sebagai hal biasa, tidak lagi ajaib. Kita lantas melupakan keajaiban itu. Kita terhijabi oleh watak dasar kita sebagai manusia: mudah jemu pada hal-hal yang terjadi berulang-ulang. Itulah kenapa kaum bijak bestari menulis kitab untuk mengingatkan kita kembali.
Syaikh Husain Efendi, penulis kitab Al-Hushūn al-Hamīdiyyah, mengingatkan kita akan hal ini saat beliau membahas topik mukjizat pada nabi. Saya akan mengutip kata-katanya yang bagus ini secara panjang lebar.
وبعد ذلك كله فإنك ترى بعضَ منْ استولت الغفلة على قلوبهم قد سترت عنهم عظمة مصنوعات الله تعالى المعتادة لديهم وغرباتُها لكثرة مشاهدتهم لها، ويعجبون من حدوث شيء نادر الوقوع لم تجرِ العادة في بروزه لدى حواسّهم، وربما يكون هذا الشيء في العظمة ودقّة الصنعة دون ما جرت العادة بحصوله وألفته أنفسهم، وما ذلك إلا لعدم اعتيادهم على مشاهدة ما ندر وقوعه حتى ربما كذّبوا من يخبرهم به أشدّ التكذيب وإن كان ثقة عندهم.
“Setelah semua [penjelasan] itu, akan kaulihat sebagian orang, yang hatinya dikuasai kondisi lupa, terhijabi dari keagungan dan keajaiban ciptaan Allah Swt yang mereka anggap biasa-biasa saja karena sudah sering mereka lihat. Sementara itu, mereka akan takjub pada hal-hal langka yang dalam pengamatan indra mereka tidak berlaku hukum kausalitas. Padahal, kadang hal langka ini level keagungan dan kerumitannya di bawah hal-hal yang diciptakan melalui hukum kausalitas. Ketakjuban itu tiada lain karena mereka tidak biasa menyaksikan hal yang langka terjadi tadi, bahkan mereka cenderung ingkar mati-matian pada orang yang membawa kabar tentangnya, meskipun kabar itu dibawa orang terpercaya.”
مثلا: تراهم يعلمون أن التراب ينقلب نباتا، ثم غذاء، ثم دما، ثم نطفة، ثم بعد انتقاله لرحم الأنثى ينقلب علقة، ثم قطعة لحم، ثم تتصور حيوانا سميعا بصيرا شامّا ذائقا لامسا، ثم يخرج من بطن الأنثى ضعيفَ العقل والقوى، ثم يصير قويا صلبا ولبيبا حاذقا وعالما مدققا، ويقول أنا وأنا، وما جسده إلا قبضة تراب وسيعود كما كانا؛ ومع ذلك لا يعجبون من جميع ما جرى في هذه التحولات والأطوار؟
“Misalnya, kaulihat mereka tahu bahwa tanah berubah menjadi tumbuhan, lalu jadi makanan, lalu jadi air mani, kemudian setelah berpindah ke rahim perempuan ia berubah jadi segumpal darah, lalu sebongkah daging, lalu terbentuklah rupa hewan yang punya indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa dan sentuhan, kemudian keluarlah ia dari perut perempuan dalam keadaan lemah daya pikir dan potensinya, lalu ia menjadi kuat dan kokoh, cerdas dan cerdik, pintar dan seksama, lalu pandai berkata-kata. Padahal tubuhnya tidak lain hanyalah sekepal tanah dan akan kembali seperti semula. Meskipun begitu, mereka tidak takjub pada hukum-hukum yang berlaku dalam perubahan-perubahan dan tahapan-tahapan itu.”
$ads={2}
Apa yang diceritakan oleh kutipan di atas adalah fenomena penciptaan manusia, dari berupa protein di tanah hingga kembali ke tanah. Kalau saja kita punya waktu untuk merenung, akan kita dapati bahwa penciptaan manusia melalui proses itu adalah suatu keajaiban. Kalau saja ada jeda untuk kita berpikir, sebetulnya mukjizat adalah fenomena sehari-hari.
Fenomena penciptaan yang sehari-hari kita lihat pada hakikatnya adalah keajaiban, kalau saja kita sanggup menangkap mekanisme dan hukum yang mengatur itu semua. Sayangnya, untuk menangkap mekanisme dan hukum itu kita memerlukan waktu untuk merenungkannya. Perenungan di zaman sekarang sudah hampir kehilangan waktu, didesak dan didistraksi oleh hal-hal instan yang kita terima setiap hari tanpa henti.
Demikian Artikel " Mukjizat dalam Perspektif Islam "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -