DIBAYAR GAJI SEDIKIT DENGAN KONSEP BEKERJA LILLAHI TA'ALA
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Berbicara tentang konsep "lillahi ta'ala", saya teringat pengalaman pak de saya, alm. Abdul Fattah ketika melamar kerja sebagai guru di salah satu yayasan Islam di Jakarta pada awal era 80-an. Dengan pengalaman kuliah dan mondok selama 10 tahun di Kaliwungu dan Buntet Cirebon, beliau memberanikan diri melamar sebagai guru di yayasan Islam yang ketika itu tengah mencapai kemajuan di Jakarta. Sebagai pelamar, beliau melalui serangkaian seleksi untuk dinyatakan layak mengajar. Apalagi materi yang akan diajarkan adalah materi nahwu, sharaf, balaghah dan fikih. Mengetahui bahwa materi yang akan diampunya begitu berat, Pak de mengira bahwa ia akan mendapat gaji yang cukup untuk biaya hidup di Jakarta.
Satu per satu seleksi berhasil dilalui. Tinggal yang terakhir adalah wawancara dengan pemilik yayasan, yang waktu itu dikenal sebagai seorang kiai. Pada hari dan jam yang ditentukan, Pak De pun tiba di kantor yayasan. Pak Kiai yang akan menguji rupanya belum tiba di kantor. Pak De memaklumi keterlambatan itu. Bagi seorang santri, budaya "terlambat" bukan sesuatu yang tabu sejak dulu. Bahkan akan dianggap sebagai keanehan jika ada santri yang selalu "on time" hadir dalam sebuah acara.
$ads={1}
Kiai pun datang. Pak De menyambut kedatangan itu dengan mencium tangan Pak Kiai. Beliau mempersilakan Pak De duduk menunggu. "Menunggu lagi", kata Pak De, sebagaimana diceritakan alm. Bapak. Setelah beberapa saat menunggu, Pak Kiai pun memanggil Pak De masuk ke dalam ruangan. Pembicaraan pun dimulai dengan menanyakan hal-hal kecil. Sampai tiba kepada pembicaraan tentang hak dan kewajiban yang akan diterima. Pak Kiai mengawali terlebih dahulu pembicaraan tentang kewajiban. "Ustadz Abdul Fattah, saudara mengajar di sini nanti pegang mata pelajaran nahwu, shorof, balaghah dan fikih. Kalau menurut laporan yang saya dapat dari para ustadz di sini, saudara lulusan pesantren dan punya ijazah doktorandus, saya yakin saudara mampu. Tapi buat meyakinkan, saya mau mendengar kemampuan saudara menghapal dan menjelaskan Nazhom Alfiyyah Ibnu Malik dulu. Bagaimana?"
Mendengar permintaan itu, Pak De menjawab, "baik, Pak Kiai..bismillah". Beliau pun memulai membaca Nazhom Alfiyyah sebagaimana yang diminta. Di keluarga besar kami, Pak De saya ini memang yang paling alim di antara semua putera Mbah saya. Beliau hapal Nazhom Alfiyyah secara bolak balik dari depan ke belakang serta sebaliknya. Baru setengah dari Nazhom yang dibaca, Pak Kiai mengatakan "cukup" dan memintanya menjelaskan kandungan Nahwu serta Balaghah yang terdapat di dalam Nazhom Alfiyyah tersebut. Beliau pun mengikuti permintaan itu.
Menurut cerita Pak De, Pak Kiai tampak puas dengan penjelasan Alfiyyah yang disampaikan itu. Sepertinya kebutuhan guru di yayasan Islam itu telah terpenuhi dengan kehadiran Pak De di situ. Tibalah pembicaraan tentang gaji. Sebelum Pak De bertanya tentang besaran gaji, Pak Kiai berkata, " Ustadz Abdul Fattah, gaji mengajar di sini nggak besar. Malah buat sebulan saja gak cukup. Karena niat mengajar di sini bukan buat dapat gaji, tapi "lillahi ta'ala". Mendengar penjelasan Pak Kiai itu, Pak De jadi berpikir berkali-kali. Dengan beban mengajar 4 pelajaran di 8 kelas secara simultan, dan hampir tidak ada kesempatan mengajar di tempat lain untuk mendapat tambahan pendapatan dan pasrah dengan gaji yang ala kadarnya, tampaknya tidak mungkin bisa bertahan hidup di Jakarta, yang biaya kebutuhannya serba mahal.
$ads={2}
Setelah bertemu dengan Kiai, Pak De pun pamit pulang. Keesokan hari, Pak De memutuskan tidak meneruskan niatnya mengajar di yayasan itu. Bapak pun bertanya kenapa niat mengajar itu dibatalkan. Pak De menjelaskan, dengan tampilan bangunan yang begitu megah, dan fasilitas kendaraan yang begitu banyak, agak aneh jika yayasan mengharuskan semua gurunya bekerja lillahi ta'ala dengan gaji yang ala kadarnya. Sesuatu yang kontradiktif, kata Pak De. Beliau bisa memahami jika keharusan lillahi ta'a itu diucapkan ketika yayasan memang dalam situasi susah dan sama sekali tidak mampu membayar guru dengan layak. Akhirnya, Pak De memutuskan hijrah ke Palembang untuk mengikuti tes CPNS Kemenag di sana. Beliau pun diterima sebagai pegawai kemenag di bidang penyuluhan agama di kota Palembang.
Tiga puluh tahun setelah kisah Pak De yang mempertanyakan konsep "lillahi ta'a", saya mendengar penjelasan guru saya, KH. Hasyim Muzadi rahimahullah, tentang makna bekerja"lillahi ta'a". Menurut beliau, makna "lillahi ta'ala" bukan berarti tidak profesional, apalagi gratis. Makna bekerja lillahi ta'ala artinya menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme dan memberi penghargaan secara layak.
Oleh: KH. Abdi Kurnia Djohan
Demikian Artikel " Dibayar gaji sedikit dengan konsep Bekerja Lillahi Ta'ala "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -