PESANTREN NU JAMAN DULU KENTAL DENGAN NUANSA SUNNAH NABI SAW
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Pertama kali saya mengenal NU pada usia 12 tahun (1987). Perkenalan saya dengan NU diawali dari kunjungan dua orang sepupu yang mondok di Buntet Pesantren Cirebon. Ketika datang, diantar kedua orang temannya, dua orang sepupu itu mengenakan seragam MTs dengan emblem bertuliskan, "MTsNU Buntet Pesantren Cirebon".
Saya tidak tahu bahwa kedatangan sepupu itu merupakan pintu masuk saya belajar di Buntet Pesantren Cirebon. Selesai ujian EBTANAS SD, almarhum bapak mengirim saya belajar di Buntet Pesantren.
Bapak pun menitipkan saya kepada Kiai Izzuddin Ahmad Zaid yang merupakan menantu dari Kiai Busyrol Karim, yang masyhur pada masanya. Belakangan saya baru tahu, bahwa hubungan di antara keluarga besar kami dengan keluarga Kiai Busyrol Karim sudah terbangun cukup lama. Kakek kami adalah santri dari Kiai Busyrol Karim dan selalu menghadiri ngaji pasaran yang diadakan setiap Ramadhan.
$ads={1}
Suasana belajar di Pesantren NU, sangat berbeda dengan suasana belajar di Jakarta. Di pesantren, bukan saja kelas yang dipisah di antara laki-laki dan perempuan, bahkan sekolah pun dipisah. Saya masih ingat pada tahun 1987, posisi MTs Putra berada di sebelah timur Masjid Buntet dan posisi MTs Putri berada di sebelah selatan Masjid.
Pemisahan laki-laki dan perempuan dilakukan di banyak tempat, mulai dari asrama, tempat mengaji, hingga sekolah. Perjumpaan santri laki-laki dan santri perempuan hanya mungkin terjadi di jalan dan di warung, di Buntet ada warung yang paling lengkap bernama warung Mang Taki, saya tidak tahu nama lengkapnya mungkin Taqiyyuddin.
Suasana kehidupan yang agamis itu menegaskan doktrin-doktrin yang diajarkan di dalam kelas dan pengajian. Doktrin itu adalah bahwa asas dari NU adalah mengamalkan ajaran sunnah Kanjeng Nabi Muhammad yang dibawa oleh para ulama.
Pak Usamah atau Ustadz Usamah kerap menyampaikan doktrin di dalam pelajaran ke-NU-an yang diadakan setiap senin siang bakda sholat zhuhur. Dengan gaya bahasa yang tegas, Pak Usamah mengatakan bahwa NU senantiasa menjaga sunnah-sunnah Nabi yang dijelaskan oleh para ulama.
Di dalam praktik, doktrin itu memang diterapkan. Semasa mondok dulu, saya tidak pernah melihat ada perempuan menyanyikan senandung qosidah di hadapan laki-laki. Lantunan irama Nasida Ria hanya terdengar dari kampung di luar pesantren. Itu pun diputar jika ada perhelatan-perhelatan keagamaan.
Para kiai pondok seperti Kiai Mustamid Abbas, Kiai Izuddin, guru saya, Kiai Fuad Zein, Kiai Nasir Zein, Kiai Shodiq Zein, Kiai Nasir Ahmad Zaid, Kiai Fuad Fakhruddin, dan masih banyak lagi tampaknya sepakat untuk tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk tampil menyanyikan qosidah di hadapan kaum pria. Perempuan hanya tampil di hadapan kaum perempuan atau ada sedikit laki-laki di situ.
$ads={2}
Doktrin berpegang kepada sunnah yang terlihat di pesantren NU, selain dari pemisahan antara laki-laki dan perempuan adalah kewajiban menutup aurat bagi laki-laki. Sarung merupakan pakaian resmi pondok, karena dianggap sebagai cermin dari pakaian yang disunnahkan. Almarhum bapak pernah bercerita bahwa sampai tahun 70-an, sebagian kiai NU masih ada yang mengharamkan celana pantalon (celana panjang). Bahkan memakai celana pantalon untuk melaksanakan sholat dihukumi tidak sah, karena tidak diketahuinya percikan najis yang mengenai celana tersebut. Dengan mengutip ungkapan orang-orang tua zaman dulu, bapak saya mengatakan "NU ya sarungan..."
Sarung dianggap sebagai pakaian sunnah karena sebutan sarung (izar) disebut di dalam hadits dan kitab-kitab fikih. Dari sisi kultur, sarung bisa dipahami sebagai tafsir para ulama terhadap pakaian sunnah yang disesuaikan dengan budaya setempat. Maka dari itu, bagi warga NU sarung mempunyai nilai tersendiri. Betapa senangnya seorang santri jika diberi hadiah sarung dengan merk BHS yang berkualitas premiere...
Tradisi sunnah yang hidup di pesantren selain dua di atas adalah tradisi berpuasa sunnah dan sholat tahajjud yang dilakukan secara berjamaah. Tidak diragukan lagi bahwa senjata utama santri sebelum ilmu adalah suluk atau wirid. Santri dan wirid merupakan dua hal yang tidak dipisahkan.
Para kiai menjadi pelopor pengamalan sunnah-sunnah di pondok. Masih terlintas di benak memori, kebiasaan para kiai membangunkan para santri pada pukul 2 pagi untuk melaksanakan sholat tahajjud dan berzikir hingga datang waktu subuh. Abu Dimyathi Banten menurut cerita banyak muridnya, setiap malam melakukan sholat tahajjud dan marhab, mulai dari pukul 12 malam hingga waktu subuh. Bahkan selama waktu itu, Abu Dimyathi mampu mengkhatamkan al-Qur'an!!! Masya Allah...
Cukup banyak amalan sunnah yang biasa diterapkan di pesantren NU dan menjadi kebiasaan melekat hampir seluruh warga NU. Singkatnya, praktik sunnah di kalangan NU pada masa saya mondok tercermin di dalam ilmu dan ibadah.
Saya tidak tahu kebenaran berita yang mengatakan bahwa banyak anak muda Nahdliyyin yang sholat subuhnya kesiangan. Karena pada masa-masa mondok dulu, yang saya tahu anak-anak muda NU sudah meramaikan masjid dengan Qur'an dan zikir sebelum azan subuh berkumandang...
Robbanā ya Robbanā, zholamnā anfusanā wa in lam taghfir lanā wa tarhamnā lanakūnannā minal khosirīn....indahnya kumandang doa ini dibacakan sebelum azan subuh di pondok. Tersayat hati mendengarnya, membayangkan kisah Nabi Adam diusir dari surga karena kesalahannya...
Ditulis oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan
Demikian artikel " Pesantren NU Jaman Dahulu Kental Dengan Nuansa Sunnah Nabi SAW "
Semoga bermanfaat...
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -