PENTINGNYA ILMU AKHLAK DALAM MEMPELAJAR ILMU AGAMA
RUMAH-MUSLIMIN.COM - Sebagian orang menganggap bahwa ilmu akhlak tidak begitu di dalam mempelajari ilmu agama. Padahal, fungsi ilmu akhlak di ranah keilmuan agama adalah seperti carrier (pengangkut) semua disiplin ilmu agama yang dipelajari. Ilmu-ilmu agama yang tidak diangkut oleh akhlak, akan tumpah berserakan menjadi mutiara yang sama sekali tidak berharga.
Tanpa akhlak, ilmu agama hanya akan menjadi kumpulan cerita atau kumpulan argumentasi yang membuat panas hati. Seperti yang dikatakan oleh Didi Kempot (alm) di dalam Ninggal Tatu, "panase geni ra koyo panase ati". Alih-alih dapat menyatukan cara pandang terhadap agama, ilmu agama tanpa akhlak justru akan menjadi sebab munculnya skisme (pembelahan) di antara umat beragama.
Sebagian ustadz, ada yang memposisikan ilmu akhlak berada di bawah ilmu fikih dan ilmu hadits. Pernah di dalam satu perhelatan majelis yang dihadiri warga NU, Muhammadiyah, dan Persis, seorang ustadz berkata bahwa untuk mempersatukan umat Islam, maka harus dibangun pemahaman fikihnya seperti Muhammadiyah, pemahaman haditsnya seperti Persis, dan pemahaman akhlaknya, seperti NU. Ketika ditanya, kenapa ada pembedaan seperti itu, sang ustadz menjawab bahwa pembagian itu menunjukkan keistimewaan. Padahal, cara pandang ustadz itu sebenarnya ingin men-down grade kualitas keilmuan orang-orang NU di bidang fikih dan hadits.
$ads={1}
Namun setelah memahami kandungan akhlak yang mendalam, cara pandang yang menempatkan pemahaman akhlak di belakang fikih dan hadits itu, sesungguhnya menunjukkan ke mana muara dari proses mempelajari ilmu agama ini. Muara ilmu agama adalah akhlak, namun bukan berarti mempelajari dan memahami akhlak berada di urutan belakang dari memahami ilmu agama.
Mempelajari akhlak adalah al-bidayah wa al-nihayah (awal dan akhir) dari proses mempelajari ilmu agama. Imam Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah, seorang ulama besar tabi'in, mengatakan bahwa dirinya menghabiskan lebih dari setengah umurnya untuk mempelajari akhlak. Imam al-Syafi'i rahimahullah, diperintahkan untuk mempelajari akhlak, oleh ibunya. Bahkan, ia dilarang kembali ke rumah sebelum memahami dengan baik akhlak. Pengalaman kedua ulama besar itu, dan juga ulama-ulama lainnya, mengkristal menjadi kaidah:
الادب قبلَ كلِّ شيءٍ
Adab didahulukan sebelum semuanya
Seorang alim yang beradab (berakhlak) tidak saja pandai menyampaikan argumentasi fiqih di hadapan jamaahnya, tapi juga pandai memperlakukan berbagai macam orang yang saling berbeda satu sama lain. Seorang guru yang beradab (berakhlak) akan bijaksana di dalam menghadapi perilaku murid-muridnya yang belum memahami hakikat sebuah ilmu. Seorang murid yang beradab, akan berhati-hati di dalam menyampaikan pertanyaan kepada gurunya. Seorang ayah yang berakhlak, tentu akan bijaksana di dalam mendidik anak-anaknya dan mampu menjadi uswah bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang berakhlak, tentu akan mengarahkan anak-anaknya kepada akhlak, bukan kepada pemuasan kesenangan. Seorang pemimpin yang berakhlak, tentu akan bijaksana menghadapi sikap rakyatnya yang serba tidak sabar dan tidak memahami beratnya beban kerja seorang pemimpin.
Melihat luasnya jangkauan akhlak itu, ngaji akhlak bukan lagi menjadi penting, tapi memang penting. Akhlak mengarahkan para pemegang ilmu menempatkan pendapat secara proporsional baik dari aspek rasional dan spiritual. Bagi pemegang ilmu yang berakhlak, perbedaan pendapat tidak akan sampai kepada jurang permusuhan. Perbedaan pendapat disikapi sebagai forum antarmadrasah yang mendorong mereka untuk menyelami pendapat masing-masing.
Para ulama yang membahas akhlak adalah para faqih sejati. Kita bisa membayangkan bagaimana kedalaman pemahaman dan analisis Imam al-Ghazali ketika berbicara tentang kualitas ibadah dan kualitas perilaku. Kita juga bisa membayangkan bagaimana kedalaman pemahaman Imam Syaikh Mutawalli al-Sya'rawi ketika mengkorelasikan akhlak dengan fenomena kehidupan sesudah kematian. Dengan kajian akhlak, kita bisa membayangkan kecermatan al-Imam Syaikh Ramadhan al-Buthy ketika menghubungkan bait-bait al-Hikam dengan realitas keberagamaan umat Islam saat ini.
$ads={2}
Dengan ngaji akhlak, maqashid (tujuan) dari agama ini dapat terlihat dengan jelas. Agama tidak lagi hadir sebagai doktrin-doktrin yang aksiomatik. Tapi agama hadir sebagai kaidah kehidupan. Artinya apa yang dikatakan oleh agama merupakan realitas yang terjadi di dalam kehidupan.
Tidak keliru, jika Rif'at Syauqi Beik, seorang penyair Mesir mengatakan:
إنما الامم إخلاقهم مابقيت وإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا
Kejayaan umat itu hanya bisa digapai dengan akhlaknya.
jika akhlak mereka hilang, mereka pun akan hancur....
Ditulis oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan
Demikian Artikel " Pentingnya Ilmu Akhlak Dalam Mempelajari Ilmu Agama "
Semoga Bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholli 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah -