MASUK SURGA ITU UNTUK BERTEMU ALLAH BUKAN UNTUK KAWIN DENGAN BIDADARI
Oleh : KH. Abdi Kurnia Djohan
Masuk surga itu untuk bertemu Allah, bukan untuk kawin dengan bidadari. Di antara agitasi murahan yang dilempar oleh kelompok "open minded" adalah bahwa narasi tentang surga di dalam ajaran Islam adalah narasi tentang birahi. Sehingga mereka menganggap bahwa cita-cita untuk masuk surga merupakan cara untuk menunda (delay) pelampiasan birahi di dunia.
Secara jujur diakui, bahwa narasi itu juga sering disampaikan segelintir para pengkhotbah agama Islam. Sebagai tempat yang imajinasinya sulit untuk dijangkau oleh nalar orang awam, surga kerap digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan kenikmatan.
Namun di dalam al-Qur'an--dan juga hadits--tidak dijumpai narasi tentang pemuasan hasrat seksual di dalam surga. Ini yang disalahpahami. Kalaupun al-Qur'an--dan hadits--menyajikan deskripsi bahwa surga dihuni oleh bidadari dan para pelayan tampan, agaknya itu merupakan deskripsi pendukung menjelaskan sempurnanya keindahan surga.
$ads={1}
Ini sama halnya dengan kesan yang diperoleh seseorang jika menginap di sebuah hotel mewah bintang lima. Kesan glamor yang diungkap orang tersebut tentang hotel itu adalah bangunan yang megah, fasilitas yang canggih, pelayanan yang memuaskan, dan para pelayan yang indah oleh mata. Namun, dari deskripsi yang disampaikan tentang mewahnya hotel itu, sama sekali tidak menyebut layanan seks yang diberikan oleh pihak pengelola hotel. Bisa jadi, pengelola hotel mewah itu akan berang jika dikatakan bahwa hotel mewah itu menawarkan jasa memuaskan birahi pengunjungnya.
Baca Juga :
- Mencintai Habaib Sesuai Seleranya, Mencaci Maki Habaib Semaunya?
Narasi minor tentang surga (jannāt ul-Na'īm) kini tengah dipopularkan di muka publik. Karena narasi minor yang terus digencarkan itu, seorang pesohor tertarik untuk mencoba neraka karena gambaran tentang kenikmatan surga sudah ia dapat selama hidupnya.
Narasi surga di dalam al-Qur'an memang tidak secara jelas mengungkap hakikat di dalamnya. Surga digambarkan sebagai tempat yang sejuk. Di dalamnya terdapat air mengalir yang bisa langsung diminum. Airnya mengandung zat keabadian. Sehingga jika air itu diminum, badan tidak akan merasa lelah dan letih. Juga digambarkan bahwa di dalam surga terbentang kebun buah-buahan yang siap petik. Para pelayan surga diberitakan, siap melayani para penghuni, tanpa disertai keluhan.
Sebagian potongan gambaran itu bagi masyarakat Arab, dianggap sebagai kenikmatan yang luar biasa. Di wilayah Jazirah Arab, memang tidak dijumpai sungai mengalir dan kebun-kebun yang berjajar di sisi sungai. Ketika gambaran itu disampaikan di dalam ayat-ayatnya, al-Qur'an seperti mengkoneksi antara mimpi-mimpi masyarakat Arab tentang alam yang indah, dengan janji masa depan yang akan mereka peroleh jika mengimani kerasulan Muhammad shallallāhu alaihi wa sallam.
Dalam konteks pemikiran, janji tentang masa depan merupakan keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Ajaran Komunisme yang diusung oleh Karl Marx, menjanjikan masa depan masyarakat yang adil dan tidak ada diskriminasi di antara pemilik modal dengan kelas pekerja. Masyarakat yang dibayangkan itu (imagined society) disebut dengan nama classless society (masyarakat tanpa kelas).
Demikian pula dengan ajaran Kapitalisme yang menawarkan janji tentang kemakmuran (welfare) dengan ajakan optimalisasi kerja dan pemanfaatan modal sebaik-baiknya.
Janji tentang masa depan itu bersifat abstrak. Karena upaya untuk meraih janji itu membutuhkan proses yang tidak sebentar. Dari sudut pandang doktrin ajaran Islam, meyakini keberadaan surga merupakan keharusan. Meragukan keberadaan surga dianggap sebagai bentuk kekufuran yang menggugurkan keimanan.
Baca Juga :
- Perbuatan Tergantung Dengan Niatnya
Lalu, apa hakikat surga sebenarnya? Al-Qur'an dan hadits memang tidak mengungkap secara jelas hakikat surga. Para ulama berupaya mengungkap hakikat surga itu melalui penafsiran dan pengamalan nilai-nilai agama di dalam kehidupan mereka. Beberapa tafsir menyebut bahwa hakikat surga adalah pertemuan secara fisik antara manusia dengan Tuhannya. Tafsir itu di antaranya disimpulkan dari hadits Nabi:
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ اِفْطَارِهِ وَ فَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Tuhannya (Shahih al-Bukhari)
Pertemuan dengan Tuhan (Allah) merupakan kenikmatan yang tidak akan bisa diukur dengan apapun. Pertemuan dengan Tuhan merupakan puncak dari kenikmatan. Dan itu hanya bisa terjadi di surga.
Seorang ulama tasawwuf menyajikan syair tentang hakikat surga:
ليس سؤلي من الجنان نعيما # غير أني أحبها لأراك
Permintaanku masuk ke dalam surga bukan karena menginginkan kenikmatan. Tapi, aku mencintai surga sebab ingin melihat-Mu...
Source : Dikutip melalui laman facebook KH. Abdi Kurnia Djohan
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim
- Media Dakwah Ahlusunnah Wal Jama'ah