PANDANGAN SYEKH MUHAMMAD ABU ZAHRA TENTANG HUKUM RAJAM
Oleh : Ustadz Saief Alemdar
Karena kemarin berbicara tentang Sheikh Muhammad Abu Zahra, ada yang nanya, " Apa benar syekh abu Zahra punya pandangan bahwa sebenarnya hukum rajam itu bukan ajaran Islam dalam arti sebenarnya Islam ingin menghapus hukum rajam?".
Ane kira ide itu sudah dikubur oleh sejarah, karena tidak ada yang mengangkat dan mengungkitnya sejak lama. Sebenarnya sheikh sendiri segan mengungkapkan ijtihadnya itu. Sampai akhirnya beliau mengeluarkan "bom waktu" itu dalam sebuah muktamar "Nadwa Tasyri' Islami" di Bayda Libya tahun 1972.
Dalam muktamar itu beliau mengatakan, "Saya punya ijtihad fiqh yang saya simpan sejak 20 tahun lalu. Sampai akhirnya saya ungkapkan ke Dr. Abdul Aziz Kamil, bukankah begitu, Doktor?"
"Sepakat Sheikh". Kata beliau. "Saya kira sudah saatnya untuk diungkapkan ijtihad ini sebelum saya menghadap Ilahi".
Ijtihad itu tentang Hukum Rajam, menurut beliau hukum rajam adalah hukum Yahudi yang sudah diberlakukan sebelum Islam, dan diakui oleh Rasulullah, untuk kemudian dinaskh (diganti) oleh surat An Nur dengan hukuman jild (cambuk).
$ads={1}
Sheikh mengemukakan 3 dalil:
Pertama: Surat An Nisa ayat 25, "... dan apabila mereka telah menjaga diri dengan nikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami".
Rajam itu hukum yang tidak bisa dilakukan "separo", maka hukuman atas perbuatan itu diambil dari Surat An Nur ayat 2, yaitu jilid.
Kedua: Hadis riwayat Imam Bukhari, dari Abdullah bin Aufa, beliau ditanya tentang rajam, apakah diberlakukan sebelum turunnya surat An Nur atau setelahnya? Beliau menjawab, "Tidak tahu". Menurut Sheikh Abu Zahra, sangat mungkin hukuman rajam berlaku sebelum turunnya An Nur dan menasakh hukuman rajam.
Ketiga: Hadis yang dijadikan landasan hukum rajam katanya awalnya Quran, kemudian dinask ayat tersebut, namun hukumnya tetap. Kata sheikh Abu Zahra, masak ayat dihapus, terus hukumnya tetap, untuk apa?"
Bom waktu itu membuat semua Ulama yang hadir serentak menolak pendapat sheikh dan memberikan dalil-dalil sebagaimana yang kita baca di referensi-referensi fiqh.
Terkait hal ini, Sheikh Yusuf Qardhawi dan Sheikh Mustafa Zarqa memiliki pendapat senada, meskipun tidak "sejauh" pendapat Sheikh Abu zahra. Kalau sheikh Abu Zahra mengatakan berdasarkan ijtihadnya hukum rajam sudah dihapus, maka kedua ulama Fiqh kontemporer ini cenderung berpendapat bahwa hukuman rajam itu berpotensi sebagai hukuman Takzir, bukan Had.
Ketika berbicara Takzir, maka hukuman tersebut tidak lagi tetap, tetap sesuai dengan kebijakan Hakim.
Bisa refer ke Fatwa Zarqa dan tulisan Sheikh Qardhawi dalam beberapa bukunya terkait dengan dalil pendapat mereka.
Aku sendiri melihat ijtihad ini bisa menjadi ijtihad alternatif untuk diterapkan bagi pihak yang ingin "men-qanun-kan" hukum Kriminal Islam dalam masyarakat. Tentunya di tengah kuatnya serangan kelompok-kelompok so-called aktivis HAM yang menganggap hukum kriminal Islam sangat tidak manusiawi.
Sebenarnya, kenapa ijtihad seperti ini mendapatkan reaksi negatif, karena memang "Bab Jinayah" dalam fiqh itu adalah Bab yang jarang dikaji dan dipelajari. Bahkan suatu ketika seorang Dosenku pernah bercanda ketika masuk ruang kuliah, "Materi kita hari adalah Sejarah". Maksudnya materi Hudud dan Qisash tidak pernah diterapkan, jadinya tinggal sejarah.
Sama seperti Bab Muamalah, dulu sedikit-sedikit riba, tetapi ketika Bab itu dikaji dengan pemahaman yang baik dan terbuka serta penuh dengan "ruh ijtihad", timbullah banyak ijtihad-ijtihad baru dalam Bab ini sehingga banyak memudahkan kita dalam muamalah.
Suatu ketika aku pernah silaturahim ke Ketua MPU Lhoksmawe, guru kita Tgk Asnawi Abdullah. Saat itu beliau cerita tentang konstelasi dakwah di Aceh. Kata beliau,
Pendapat itu ada di dalam buku Fatwa Zarqa, buku Fi Wada'il A'lam Sheikh Qardhawi, Fiqh Jinai Dr. Fathy Bahnsi, dan Fiqh Jinai Dr. Salim Awwa...
Source : Ustadz Saief Alemdar melalui postingan facebooknya
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim