SIKAP RASULULLAH SAW KETIKA PUTRANYA MENINGGAL
Ibrahim, putra beliau, saat itu berusia antara 16-18 bulan. Apabila beliau selesai menerima para utusan, mengurus masalah-masalah kaum Muslimin, menunaikan kewajiban kepada Allah serta hak kewajiban seluruh keluarganya, beliau selalu melihat Ibrahim dan mengawasi pertumbuhannya. Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim semakin dalam. Dan sepanjang bulan itu, yang menjadi pengasuh Ibrahim adalah Ummu Saif, yang menyusuinya.
Cinta kasih Rasulullah kepada Ibrahim bukan karena suatu maksud pribadi yang ada hubungannya dengan risalah yang beliau bawa, atau nanti Ibrahim disiapkan menjadi penggantinya. Rasulullah tidak memikirkan anak atau siapa yang akan mewarisinya. Bahkan beliau bersabda, "Kami para Nabi, tidak dapat diwarisi. Apa yang kami tinggalkan untuk sedekah."
Dan cinta kasih kepada Ibrahim ini kian mendalam, karena sebelumnya beliau telah kehilangan kedua puteranya—Qasim dan Tahir —saat keduanya masih bayi dalam pangkuan Khadijah Al-Kubra. Setelah Khadijah wafat, Rasulullah kehilangan putri satu demi satu, setelah mereka bersuami dan menjadi ibu. Sekarang tak ada lagi yang masih hidup selain Fatimah.
Namun, masa hidup Ibrahim tak berlangsung lama. Setelah saki keras yang dideritanya, Ibrahim meninggal dunia. Rasulullah SAW begitu sedih dengan kematian putranya itu. Beliau kemudian meletakkan Ibrahim di pangkuannya dengan hati yang remuk-redam sembari bersabda, "Ibrahim, kami tak dapat menolongmu dari kehendak Allah."
Melihat kesedihan Rasulullah SAW, kaum Muslimin turut berduka-cita. Beberapa orang sahabat menyinggung larangan berbuat demikian. Namun Nabi SAW bersabda, "Aku tidak melarang orang berduka cita, tapi yang kularang menangis dengan suara keras. Apa yang kamu lihat dalam diriku sekarang adalah pengaruh cinta kasih di dalam hati. Orang yang tiada menunjukkan kasih sayang, maka orang lain pun tidak akan menunjukkan kasih sayang kepadanya."
Kemudian, setelah dimandikan oleh Ummu Burdah, sumber lain menyebutkan oleh Fadl bin Abbas, Ibrahim dibawa oleh Nabi SAW dengan diantarkan sejumlah kaum Muslimin menuju ke Baqi'. Di tempat itu ia dimakamkan setelah dishalatkan oleh Nabi.
Bersamaan dengan kematian Ibrahim, kebetulan terjadi pula gerhana matahari. Kaum Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Mereka menganggap gerhana matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.
Kemudian beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan terjadinya gerhana matahari bukan karena kematian Ibrahim. "Matahari dan bulan adalah tanda kebesaran Allah, yang tidak ada hubungannya dengan kematian atau hidup seseorang. Kalau kalian melihat hal itu, maka berlindunglah kepada Allah dengan dzikir dan doa," sabda beliau.
Sungguh suatu kebesaran jiwa yang tiada taranya. Rasulullah SAW tidak melupakan risalahnya dalam suatu situasi yang demikian gawat. Kondisi jiwa yang dilanda keharuan dan kesedihan nan amat dalam.
Baginda diberi enam orang anak lelaki yang meninggal semuanya sewaktu kecil. Anak-anak yang ketiga dan keempat, meninggal dahulu di hadapan matanya. Alangkah rindunya untuk mendapat cahaya mata lagi, lalu Rasulullah SAW dikurniakan anak lelaki, Ibrahim. Kebetulan rupanya amat mirip dengan baginda. Tetapi Ibrahim juga meninggal dunia ketika sarat menyusu. Lalu ditumpukan kasih sayangnya kepada cucundanya Hasan dan Husin. Sangat dimanjakan, sehingga pernah sujudnya sedemikian lama hanya untuk memberi waktu agar cucunya turun dari belakangnya. Namun, dari ilham Ilahi, baginda telah tahu bahawa ada peristiwa besar bakal menimpa keduanya. Baginda hanya memberitahu salah seorang daripadanya bakal mendamaikan perselisihan besar. Dipendamkannya tragedi pembunuhan yang bakal dihadapi oleh Husin di Karbala. Begitulah Rasulullah menghadapi saat perginya orang yang tersayang. Lalu bagaimana pula keperibadiannya ketika baginda sendiri pergi meninggalkan orang yang tersayang? Sejarah menceritakan bagaimana ketika baginda terbaring di hamparan yang telah tua, berselimutkan kain kasar manakala minyak pelita lampu rumahnya hampir kehabisan… ketika itulah baginda menyebut, “rafiqil a’la, rafiqil a’la –teman daerah tinggi (Allah), teman daerah tinggi!” Dalam “kamus” kehidupan para muqarabin (orang yang hampir dengan Allah), tercatatlah ungkapan bahawa mati itu adalah syarat menemui cinta. Ya, begitu rindunya baginda untuk bertemu Allah – cinta hakiki dan sejatinya. Itulah teman daerah tinggi yang sangat dirindunya. Perginya dengan tenang walaupun demam panas yang dihidapinya dua kali ganda yang dialami manusia biasa. Namun begitu, di saat sakarat yang begitu hebat, masih sempat baginda berpesan tentang solat. Untuk siapa? Siapa lagi kalau bukan untuk kita… umat yang akan ditinggalkannya. Ketika segala tragedi dan ujian menimpa, Rasulullah SAW tetap bahagia. Bahagia inilah yang digambarkan oleh pembantunya, Anas bin Malik dengan pengisahannya: “Aku telah menjadi khadam Rasulullah SAW 10 tahun lamanya. Maka tidak pernah baginda berkata atas apa yang aku kerjakan: “Mengapa engkau kerjakan?” Tidak pernah pula baginda berkata atas apa yang aku tidak kerjakan: “Mengapa engkau tidak kerjakan?” Tidak pernah baginda berkata pada barang yang ada: “Mengapa ada pula barang ini?” Tidak pernah baginda berkata pada barang yang tidak ada:”Alangkah baiknya kalau barang itu ada.” Kalau terjadi perselisihan antara aku dengan ahli keluarganya, baginda akan berkata kepada keluarganya: “Biarlah, kerana apa yang ditakdirkan Allah mesti terjadi!”
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyiidna muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim