Tassawuf Merupakan Jalan Menuju Ihsan
Oleh : KH. DR. Kurnia Abdi Djohan
Bicara tentang tashawwuf bukan cuma bicara tentang bacaan wirid dan derajat kewaliyan yang selalu diperbincangkan dengan kebanggaan. Sayyid Abdullah bin Muhammad al-Shadiq al-Ghumary al-Hasani menegaskan bahwa tashawwuf juga berbicara tentang ukhuwwah (persaudaraan), attajammu' (berkumpul) dan irtibath (keterikatan) di antara sesama umat Muhammad sholla Allahu alayhi wa sallam.
Pembicaraan tentang tashawwuf yang hanya terfokus kepada keramat dan kewalian tanpa mendalami hakikat dari syariat, justru akan merusak makna tashawwuf itu sendiri. Sebab, tashawwuf merupakan jalan menuju ihsan, yaitu:
اَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mungkin melihat-Nya, sungguh Dia melihat-Nya. (Riwayat Muslim)
Jalan menuju ihsan itu--seperti disebut di dalam hadits--diawali dengan iman (keyakinan) yang kemudian diikuti dengan syariat (Islam).
Bagaimana mungkin dapat sampai kepada ihsan, jika keyakinan saja mengambang dan syariat diabaikan.
Tashawwuf adalah jalan agar kita dapat merasakan kenikmatan beragama seperti yang dialami oleh para sahabat. Hudzaifah ibnu Yaman radhiyallahu anhu, ketika ditanya Rasulullah, "bagaimana keadaanmu pagi hari ini?", beliau menjawab, "pagi ini aku dalam keimanan yang luar biasa. Seakan aku bisa melihat para malaikat yang memutari arasy."
Ungkapan Hudzaifah itu menggambarkan nikmatnya menggapai hakikat di dalam beragama. Pandangannya mampu menembus alam malakut. Sehingga karena kemampuannya itu, Hudzaifah ibnu Yaman menjadi pribadi yang berhati-hati di dalam bertindak serta bersikap.
Tashawwuf mengingatkan manusia bahwa bertambahnya pengetahuan seharusnya dibarengi dengan bertambahnya kehati-hatian. Maka dari itu, di dalam pandangan ajaran Tashawwuf, orang yang semakin banyak pengetahuannya, akan semakin mengurangi bicaranya.
إِنَّمَا يَخْشَى اللَه مِنْ عِبَادِهِ اَلْعُلَمَاءُ
Sungguh orang-orang yang takut kepada Allah, dari hamba-hamba-Nya, hanyalah para ulama (orang-orang yang berilmu)--surat Fathir.
Berangkat dari pemahaman terhadap ayat di atas, Imam Malik ibnu Anas radhiyallāhu anhu, tidak mau gegabah memberi jawaban ketika ditanya tentang sebuah masalah. Diriwayatkan bahwa ketika diajukan lima pertanyaan, Imam Malik menjawab empat pertanyaan dengan jawaban "tidak tahu". Dan hanya menjawab satu pertanyaan dengan tuntas. Pada waktu seseorang bertanya kepadanya kenapa lebih banyak menjawab "tidak tahu", Imam Malik menjawab bahwa jawaban "tidak tahu" juga merupakan bagian dari ilmu.
Karena memahami ayat di atas pula, Imam As-Syafi'i mengatakan kepada orang yang bertanya kepadanya, bahwa ia meminta waktu 3 hari untuk mengkhatamkan Al-Qur'an agar bisa menjawab pertanyaan yang disampaikan.
Tashawwuf juga bicara tentang kepedulian. Bahkan para shufi dikenal sebagai orang yang tidak mementingkan keperluan dirinya sendiri. Para shufi senantiasa mengamalkan ayat:
وَيُؤْثِرُوْنَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
Dan mereka (orang-orang Madinah) selalu mengutamakan (orang-orang Muhajirin) daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka memerlukan (Qs al-Hasyr:9)
Para shufi rela menahan lapar demi membantu orang yang membutuhkan makanan. Para shufi rela mengorbankan kepentingan dirinya demi terpenuhinya kepentingan orang banyak.
Bukanlah shufi, orang yang tamak terhadap nikmatnya makan dan indahnya dunia. Para shufi bukanlah orang yang dengki ketika melihat orang lain mendapatkan nikmat.
Tak perlu kita berbicara tentang bagaimana meneladani mursyidnya para mursyid, yaitu Rasulullah sholla Allahu alayhi wa sallam. Meneladani para saliknya--seperti disebut di dalam surat al-Hasyr--saja kita belumlah mampu.
Shufi kita masih suka wifi. Para salik wifi ini masih geer jika bisa berfoto bersama artis, dan masih besar kepala jika berfoto bersama dengan pejabat. Seorang shufi semestinya meneladani akhlak para salik yang tidak mau bersanding bersama dengan ahli dunia. Sebab, para salik selalu mencari orang yang nanti bisa menariknya ke dalam surga apabila di akhirat kelak.
Sumber : KH. DR. Abdi Kurnia Djohan
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa bariik wa salim