PERBEDAAN ANTARA IBADAH DAN HAL YANG BERNILAI IBADAH
Oleh: Kiyai Abdul Wahab Ahmad
Banyak orang yang masih rancu membedakan antara ibadah dan hal yang bernilai ibadah. Kerancuan ini seringkali mengakibatkan perdebatan panjang yang tak perlu. Bahkan, tak jarang ketidakmampuan membedakan keduanya menyebabkan seorang muslim menjatuhkan vonis serampangan atas amaliah muslim lainnya.
Sebelumnya saya sudah menulis tentang perbedaan ibadah dan 'adah (adat istiadat) di sini:
Sebagai lanjutannya, kini saya akan jelaskan secara lebih luas cara membedakan ibadah dan seluruh hal selainnya, baik itu menjadi adat istiadat atau bukan.
Ukuran yang paling mudah untuk membedakan antara ibadah dan bukan ibadah adalah ada tidaknya syarat dan rukun yang ditentukan secara agama dalam hal selain mu'amalah. Apabila suatu tindakan selain mu'amalah mempunyai syarat atau rukun sehingga dari keduanya bisa ditentukan hukum sah atau tidak sah secara agama, maka berarti tindakan itu adalah ibadah. Apabila tidak ada syarat dan atau rukun yang sedemikian, maka sama sekali bukan ibadah. Yang non-ibadah ini kemudian terbagi menjadi dua; adakalanya punya nilai ibadah dan adakalanya tak punya nilai ibadah, tergantung niat dan caranya.
Contohnya:
1. Shalat, puasa dan haji adalah ibadah sebab mempunyai syarat dan rukun yang jelas. Dari terpenuhinya syarat dan rukun itulah ibadah ini bisa dinilai sah atau tidaknya. Meskipun seluruh ibadah ini dilakukan tidak ikhlas karena Allah tetapi bercampur dengan riya', asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi maka tetap dianggap sah.
2. Memberi pinjaman, menolong orang, bekerja mencari nafkah keluarga, menulis buku, berorasi dan sebagainya adalah bukan ibadah sebab tak ada syarat dan rukunnya sebagaimana di atas. Akan tetapi semua ini akan bernilai ibadah apabila dilakukan karena Allah, tidak riya' dan mengharap ridha-Nya. Apabila tidak dilakukan dengan maksud demikian, maka seluruh tindakan ini hanya akan menjadi tindakan biasa yang tak punya nilai ibadah. Sebab tak ada syarat dan rukunnya, maka tindakan semacam ini tak ada kaitannya dengan hukum sah atau tidak sah, yang ada hanyalah berpahala atau tidak berpahala.
Jadi, ibadah selalu berkaitan dengan hukum sah atau tidak sah secara agama. Sah berarti secara fikih telah dianggap terselesaikan (nufudh) dan tak sah berarti secara fikih belum dianggap terselesaikan sehingga tidak dihitung keberadaannya. Apabila suatu tindakan non-mu'amalah tidak berkaitan dengan sah dan tidak sah secara agama, maka itu bukan ibadah sehingga jangan disebut ibadah agar tidak rancu. Penyebutan hal non-ibadah sebagai ibadah dalam istilah keseharian hanyalah metafora atau kiasan saja, bukan hakikat.
Sekarang kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut secara tepat:
a. Apakah tahlilan adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya. Semua unsur dan pemilihan waktunya bukan syarat ataupun rukun melaikan hanya kebiasaan. Karena itulah tak ada ceritanya suatu tahlilan dianggap sah atau tidak sah, apapun bacaannya dan kapanpun dilakukan.
b. Apakah peringatan maulid nabi adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya. Semua unsur di dalamnya berikut pemilihan waktunya bukan syarat ataupun rukun melainkan hanya kebiasaan. Karena itulah tak ada ceritanya suatu peringatan maulid Nabi dianggap sah atau tidak sah, apapun ragamnya. Hanya saja soal ini perlu diperhatikan jangan sampai ada unsur-unsur yang tak layak bagi kemuliaan nabi, apalagi unsur yang haram seperti bercampurnya lelaki dan perempuan.
c. Apakah berkunjung, berdiam atau berkumpul di kuburan orang shalih adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya. Kalau misalnya orang yang berkumpul itu mengobrol atau berfoto, maka bagi mereka hukum obrolan dan foto (mubah). Kalau orang yang berkumpul itu membaca al-Qur'an, maka bagi mereka hukum membaca al-Quran (sunnah). Kalau mereka malah berniat menyembah orang yang dikubur, maka bagi mereka adalah hukum syirik (haram). Demikian seterusnya bisa dikiaskan sendiri. Namun bagaimanapun berkunjung, berdiam atau berkumpulnya itu sendiri adalah bukan ibadah sehingga hukumnya tidak boleh digeneralisir serampangan seolah itu adalah ibadah.
d. Apakah upacara bendera adalah ibadah? Bukan, sebab tak ada syarat dan rukunnya secara agama. Seluruh syarat dan rukun dalam upacara ditentukan berdasarkan kesepakatan yang dibuat manusia bukan sebagai aturan agama. Ini sama seperti syarat punya SIM untuk menyetir, kewajiban masuk tepat waktu ketika bekerja dan aturan-aturan lain yang bukan ditetapkan secara agama. Yang seperti ini bukanlah ibadah. Hormat bendera, berdiri tegap dan seluruh sikap dalam upacara hanyalah simbol dan bukan dalam rangka menyembah apapun selain Allah. Ini berbeda jauh dengan siulan dan tepuk tangannya kaum musyrikin jahiliyah yang memang dilakukan dalam rangka beribadah/shalat di sekitar baitullah yang dipenuhi berhala (lihat al-Anfal: 35). Jangan sampai rancu menyamakan antara sikap hormat bendera dengan sikap bersiul dan bertepuk tangannya orang musyrik.
e. Apakah pernikahan itu ibadah? Bukan, sebab syarat dan rukunnya berkaitan dengan mu'amalah atau akad antara dua orang. Yang seperti ini adalah hubungan antar sesama makhluk, bukan ibadah antara makhluk dan Tuhan. Hanya saja pernikahan bisa punya nilai ibadah yang sangat besar.
Dengan ini kita harus jeli menentukan dan menjawab apakah suatu hal itu ibadah atau bukan. Salah menjawab akan berkonsekuensi adanya kerancuan dan perdebatan yang tak perlu soal bid'ah atau syirik. Sebagaimana sudah disepakati, bid'ah HANYALAH berlaku dalam hal ibadah saja. Adapun dalam hal non-ibadah tidak berlaku status bid'ah, meskipun hal yang non-ibadah tadi mempunyai nilai ibadah yang berupa pahala. Ketika suatu hal bukan termasuk ibadah, maka keberadaannya tidak bisa dituntut dengan dalil nash al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana keberadaan ibadah. Jadi, sangat tidak relevan kalau membandingkan antara tahlilan atau maulidan dengan shalat, makin tidak relevan lagi ketika menuntut adanya dalil terperinci tentangnya sebagaimana shalat punya dalil terperinci yang spesifik berisi detail-detail pengerjaannya.
Demikian pula harapan akan adanya manfaat dan ketakutan akan adanya mudharat dari suatu makhluk bukan berarti selalu menandakan adanya kesyirikan sebab keduanya bukan ibadah. Orang yang bekerja pada seorang juragan mengharapkan manfaat dari juragan itu dan biasanya merasa takut terhadapnya. Tapi karena bekerja bukanlah ibadah, meskipun dalam prakteknya ada unsur ketundukan kepada atasan, maka tidak bisa disebut sebagai tindakan syirik. Demikian juga orang yang mengharap kebaikan dari istrinya dan takut istrinya marah-marah bukan termasuk orang yang syirik. Sebab itulah takut poligami jangan diartikan sebagai kesyirikan. Hhhh….
Hal yang sama berlaku ketika seseorang bertawassul atau mengharap berkah dengan berdoa KEPADA ALLAH di tempat orang shalih dikuburkan (seperti halnya dilakukan oleh Imam Syafi'i dan banyak imam lainnya), ini bukan kesyirikan sebab pemilihan tempat tertentu bukanlah sebuah ibadah. Selama tempat itu suci, maka tak masalah berdoa kepada Allah, membaca al-Qur'an atau shalat sunnah di atasnya. Adapun kalau berdoa dan menyembah kepada selain Allah di manapun tetap haram dan dosa besar, tak perlu menunggu dia berada di kuburan.
Bedakan juga antara tabarrukan berupa ngaji di kuburan orang shalih (sebagaimana dipraktekkan para ulama kibar) yang tak punya syarat dan rukun itu dengan praktek pemberian sesajen yang kesemuanya punya syarat dan rukun tertentu, misalnya harus terdiri dari bahan-bahan tertentu, dilakukan di tempat dan waktu tertentu dengan ritual tertentu serta bisa dinilai sah atau tidaknya. Karena adanya unsur-unsur ini, maka pemberian sesajen dengan segala bentuknya adalah masuk kategori ibadah kepada selain Allah atau syirik besar.
Apabila segala hal yang punya nilai ibadah (pahala) dipaksa untuk disebut sebagai ibadah, maka semua tindakan yang tak haram bisa jadi ibadah; Jimak dengan istri bisa disebut ibadah sebab itu nafkah batin, makan-mimum bisa disebut ibadah sebab itu adalah perantara untuk mampu beribadah, dan semua hal bisa jadi ibadah. Ini semua penyebutan yang tidak tepat sebab punya konsekuensi menjadi bid'ah semua apabila detailnya tidak sama persis dengan yang dilakukan atau diakui oleh Rasul. Yang tepat adalah semuanya bukan ibadah tetapi punya nilai ibadah bila dilakukan dengan cara yang baik dan tujuan baik pula.
Ada suatu hadis tentang topik ini yang juga kerap disalahpahami, yakni:
الدُّعَاءُ Ù…ُØ®ُّ العِبَادَØ©ِ (الترمذي )
"Doa adalah inti ibadah". (HR Turmudzi).
Hadis di atas yang secara sanad lemah itu kerapkali disalahartikan bahwa keberadaan doa berarti menunjukkan bahwa suatu tindakan adalah ibadah. Berkumpul di kuburan orang shalih dianggap ibadah karena biasanya ada doanya, tahlilah dianggap ibadah karena ada doanya, dan seterusnya. Ini salah dan terbalik. Dengan mengabaikan status dha'if hadis itu, maksudnya adalah setiap ibadah mempunyai unsur inti berupa doa atau harapan kepada Allah. Shalat, puasa, haji, dan seluruh ibadah lainnya mempunyai unsur doa kepada Allah agar mendapat ridho-Nya.
Jangan sampai pengertian ini dibalik menjadi seluruh hal yang punya unsur doa berarti ibadah. Hampir seluruh tulisan saya di FB selalu diakhiri dengan doa "semoga bermanfaat", meski demikian menulis di FB tetaplah bukanlah ibadah. Demikian juga makan, minum, tidur, berkendara, masuk toilet, dan lain-lain bukanlah ibadah meskipun diawali dan diakhiri dengan doa. Itu semua adalah hal yang bisa bernilai ibadah bila dilakukan dengan niat dan cara yang baik, tetapi bukan ibadah itu sendiri. Bedakan ini!.
Semoga bermanfaat.
Oleh : Kiyai Abdul Wahab Ahmad
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyiidna muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa bariik wa salim