KADAR KRITIK SESAMA MUSLIM SESUAI SUNNAH
Oleh: Kiyai Abdul Wahab Ahmad
Mengkritik orang adalah sesuatu yang sangat mudah, bahkan tak perlu ilmu untuk melakukannya. Justru yang terjadi di lapangan, makin seseorang tak berilmu maka biasanya makin pedas dan panjang kritiknya terhadap orang lain. Ilmu justru akan menakar kadar kritik bukan justru menambahnya.
Fenomena ini juga berlaku dalam kritik tentang masalah agama yang melibatkan dalil-dalil hadis. Meskipun materi kritik sudah berdasarkan dalil sunnah, namun seringkali kadarnya tidak sesuai kadar yang diajarkan sunnah, tetapi berlebihan. Sebaliknya ada juga kritik yang nampaknya agamis tetapi justru terkesan melawan sunnah sebab melampaui batas.
Kadar kritik yang layak disebut sunnah adalah kadar kritik yang disesuaikan dengan ajaran Rasulullah yang tercermin dalam strata hukum islam. Sederhananya sebagai berikut:
1. Bila yang dikritik adalah tindakan haram, maka kritiklah sesuai kadar keharamannya. Keharaman perbuatan syirik harus dikritik dengan keras sebab ini dosa yang paling besar. Namun keharaman perbuatan ghibah tak perlu dikritik sebesar kritik atas kesyirikan sebab kadar keharamannya di bawah kesyirikan. Kritik atas orang yang melakukan dosa kecil jangan sampai berlebihan seperti kritik atas orang yang melakukan dosa besar. Kritik atas perbuatan dosa besar jangan sampai seperti mengkritik kemurtadan yang kekal di neraka.
2. Bila yang dikritik adalah tindakan makruh, maka kritiklah sesuai kadar kemakruhan. Makruh artinya sebaiknya dijauhi tetapi andai dilakukan tak dianggap salah secara syariat. Karena itu, adalah berlebihan kalau mengkritik tindakan makruh tetapi dengan dosis tindakan haram. Misalnya ada orang yang tidak shalat di awal waktu, jangan dikritik seolah dia telah meninggalkan shalat sama sekali.
Hanya saja bila tindakan kemakruhan dilakukan dalam jumlah banyak dan terus menerus, maka kemungkinan besar akan sampai pada keharaman. Misalnya mengulur waktu shalat ke akhir waktu hukumnya makruh, tetapi bila seluruh salat selalu diulur waktunya ke akhir, maka kemungkinan besar akan ada yang tercecer hingga keluar dari waktunya. Saat itulah maka kritik terhadap hal makruh bisa ditingkatkan dari dosis sebelumnya sebab sudah nyata mengarah pada keharaman.
3. Bila yang dikritik adalah tindakan mubah, seperti makan, minum, tidur, bermain dan sebagainya yang hukum asalnya netral, maka jangan dikritik dengan kadar seolah sudah melakukan kemakruhan atau apalagi keharaman. Ketika melihat seseorang suka tidur, ya jangan sampai dikritik seolah dia suka mabuk-mabukan. Dikritik saja sewajarnya dengan mengajak olah raga supaya tidak ngantuk, jangan dimarahi. Barulah ketika tidurnya nyata-nyata menyebabkan dia lalai dari kewajiban, kadar kritiknya layak ditambah bukan karena dia tidur tetapi karena melakukan hal haram berupa pengabaian kewajiban. Akan tetapi bila tindakan tidurnya menyebabkan dia lalai dari tindakan sunnah, semisal salat tahajjud, maka kadar kritiknya cukup sebagaimana kadar melakukan kemakruhan. Jangan sampai dikritik seolah dia sudah melakukan dosa.
4. Bila yang dikritik adalah tindakan yang masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama (mukhtalaf), maka jangan dikritik dengan dosis seolah sudah melakukan hal yang disepakati keharamannya. Misalnya soal berjamaah dalam shalat. Ulama yang keilmuannya diakui berbeda pendapat apakah ia merupakan kewajiban personal ('aini), kewajiban kelompok (kifa'i) ataukah malah kesunnahan.
Karena itu, maka orang yang tidak shalat berjamaah karena mengikuti pendapat yang menyatakan ia sunnah atau fadlu kifayah tidak layak dikritik dengan dosis seolah dia sengaja sudah melakukan keharaman. Bagaimanapun perbedaan pendapat antar ulama adalah keniscayaan yang harus dihargai. Namun bila ia tak pernah mau shalat berjamaah, ketika berada di masjid pun dia selalu memilih shalat sendiri, maka barulah dosis kritiknya layak dinaikkan sebab ada indikasi penolakan terhadap syariat shalat berjamaah.
5. Bila yang dikritik adalah tindakan meninggalkan sebagian sunnah, maka jangan dikritik dengan dosis seolah meninggalkan seluruh bangunan sunnah, seolah mengabaikan seluruh sunnah atau seolah sengaja melawan Nabi Muhammad. Ini sangat berlebihan.
6. Bila yang dikritik adalah tindakan tidak ideal dari orang awam, jangan disamakan dengan tindakan tidak ideal dari orang alim. Standar orang awam itu rendah sedangkan standar orang alim itu lebih tinggi. Yang tak layak bagi orang alim bisa saja layak dilakukan orang awam, misalnya bercelana pendek (tetapi tetap menutup seluruh aurat) di tempat umum.
Demikianlah kalau kita melihat hadis-hadis nabi secara keseluruhan. Beliau hanya mengecam keras tindakan haram, makin besar kadar keharamannya makin keras pula kecaman beliau. Ada yang dikecam dengan level kekal di neraka, dilaknat Allah dan Rasul, dan ada yang dikecam dengan ancaman masuk neraka atau tak mendapat rahmat.
Kadar kecamannya turun ketika hanya menyangkut hal yang makruh. Malah banyak hal makruh yang tak dikecam, hanya dilarang saja dengan larangan yang tidak keras atau bahkan kadang beliau lakukan. Misalnya larangan kencing berdiri, larangan minum berdiri dan sebagainya. Hadis-hadis yang berisi kecaman yang teramat keras terhadap tindakan makruh atau terhadap meninggalkan amaliyah sunnah biasanya kalau tidak berstatus lemah ya palsu.
Demikian pula ketika menghadapi orang yang awam, yang baru masuk islam, yang baru dapat hidayah mengenal sunnah, maka standarnya harus diturunkan serendah mungkin sesuai dengan kapasitasnya supaya tidak malah lari. Ada hadis penting untuk ditampilkan di sini, yaitu:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلَالَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: "نَعَمْ" (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
"Sesungguhnya ada seorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Salam, Dia berkata: Bagaimana pendapat anda bila saya melakukan shalat-shalat wajib, berpuasa Ramadhan dan melakukan yang halal-halal dan menghindari yang haram-haram dan TIDAK MENAMBAH SEDIKITPUN dari itu (dengan amalan sunnah), apakah saya bisa masuk surga?. Nabi berkata: Ya.". (HR. Muslim)
Mengomentari hadis tersebut, Imam Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab al-Fathul Mubin berkata bahwa di dalamnya ada dalil bahwa meninggalkan amaliyah sunnah secara keseluruhan itu tidak dilarang oleh syariat. Namun menurut beliau, ketika seseorang meninggalkan sunnah itu karena alasan meremehkan atau benci, maka dia menjadi kafir. Jadi, kalau seseorang meninggalkan suatu amaliah sunnah hanya malas saja seharusnya tak perlu dikritik secara membabi buta seolah sudah melakukan dosa besar, cukup ditakar kritiknya secara proporsional. Malah kalau ikut hadis di atas secara literal, seharusnya jangan mengkritik sebab nabi saja tidak mengkritiknya.
Bila Nabi Muhammad selaku pembawa dan penjaga utama syariat saja bisa bersikap luwes, kenapa malah banyak di antara kita yang bersikap berlebihan dalam memberikan nasehat? Sikap berlebihan tentu tidak sesuai dengan sunnah Nabi.
Contoh lainnya, bila ada orang yang baru berjilbab tetapi jilbabnya kurang ideal, janganlah dikritik seolah dia belum berjilbab sama sekali. Bila ada muslimah yang memakai baju menutup aurat dengan sempurna tetapi warnanya mencolok sehingga menarik perhatian, janganlah dikritik seolah dia belum menutup aurat sama sekali. Bahkan yang disebut nabi sebagai kasiyat 'ariyat (berpakaian tapi telanjang karena transparan atau terlalu tipis bahannya sehingga lekuk tubuhnya terlihat) tetaplah tak boleh disamakan dengan yang betul-betul telanjang. Kritik berlebihan dalam hal semacam ini menjadi beban bagi banyak muslimah yang baru meniti jalan hidayah. Akhirnya bukan malah tambah baik tapi justru menjauh lagi.
Dari semua contoh kasus di atas, saya menyebutkan yang layak dikritik hanyalah tindakan-tindakan yang berkisar dalam wilayah haram, makruh dan mubah saja. Hal-hal itu saja yang memang secara syariat dibenarkan untuk dikritik. Adapun mengkritik hal yang secara dalil syariat dianggap sunnah adalah hal terlarang dan sangat tercela, bahkan bisa mengarah pada murtad bila disertai istihza'. Sayangnya banyak orang yang melakukan hal ini. Misalnya:
a. Para ulama empat mazhab sepakat bahwa hukum bercelana cingkrang minimal adalah sunnah. Ada yang mewajibkan tetapi ada yang hanya sampai level sunnah. Jadi intinya semuanya sepakat bahwa itu adalah tindakan ideal yang diajarkan Syariat. Maka jangan sampai ada yang mengkritik apalagi mencemooh tindakan ini. Silakan bila tak bercelana cingkrang dengan mengikuti pendapat yang tak mewajibkannya, tapi jangan sampai mencemooh yang cingkrang sebab ini praktek Nabi sendiri.
b. Demikian juga para ulama empat mazhab sepakat bahwa hukum berjenggot minimal adalah sunnah. Meski ada yang mengatakan wajib, tetapi intinya semuanya sepakat bahwa membiarkan jenggot tumbuh panjang (dengan wajar) adalah tindakan ideal yang diajarkan Syariat. Maka jangan sampai ada yang mengkritik apalagi mencemooh tindakan ini. Silakan kalau mau mencukur jenggot dengan mengikuti ulama yang tak melarangnya, tapi jangan sampai mencemooh yang berjenggot sebab di antara yang berjenggot itu ada Nabi termulia.
c. Demikian pula para ulama mazhab sepakat bahwa memakai sorban (imamah) itu sunnah dalam salat dan bahkan syiar islam. Jadi jangan sampai disalah-salahkan. Silakan kalau mau memakai kopyah hitam ataupun blankon dan berdakwah dengan penampilan membaur seperti itu dengan seluruh pertimbangan yang ada. Tapi kalau sampai mengkritik apalagi mencemooh pemakai sorban itu sudah bukan pada tempatnya.
Demikian pula bisa dikiaskan pada hal-hal lainnya. Intinya mari kita berdakwah, mari mengajak pada kebaikan, tapi ukur kadar kritiknya dengan pas sesuai yang dipraktekkan Nabi. Silakan pasang standar setinggi mungkin untuk diri sendiri tapi pasang standar yang wajar pada orang lain. Orang alim bukan orang yang banyak menyalahkan, tapi yang mengkritik secara proporsional sesuai praktek Nabi.
Semoga bermanfaat
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim