A. Pengertian ‘Amm
‘Amm ialah lafazh yangg menghabiskan atau mencakup segala apa yangg pantas baginya tanpa ada pembatasan.
Para ulama berbeda pendapatt tentang “makna umum”, apakah di dalaam bahasa ia mempunyai sighat (bentuk lafadz) khusus untukk menunjukkannya atau tidak?
Sebagian ulama berpendapatt, di dalaam bahasa terdapatt sigat-sigat tertentu yangg secara hakiki di buat untukk menunjukkan makna umum dan di pergunakan secara majaz pada selainnya. Untukk mendukung pendapattnya ini mereka mengajukan sejumlah argumen darii dalil-dalil nassiyah, ijma’iyyah dan ma’nawiyyah.
1. diantara dalil-dalil nassiyah ialah firman allah:
“ Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yangg benar. dan Engkau ialah hakim yangg seadil-adilnya."Allah berfirman: "Hai Nuh, Sesungguhnya Dia bukanlah Termasuk keluargamu (yangg dijanjikan akan diselamatkan) “QS. Hud[11]:45-46).
Aspek yangg dijadikan dalil darii ayat ini ialah bahwa nuh menghadap kepada allah dengaan permohonan tersebut karena ia berpegang pada firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu”.
Allah membenarkan apa yangg dikatakan Nuh. Karena itu ia menjawab dengaan pernyataan yangg menunjukkan bahwa anaknya itu tidak termasuk keluarga.
2. Di antara dalil-dalil ijma’iyyah ialah ijma (konsensus) sahabat bahwa firman allah:
“ perempuan yangg berzina dan laki-laki yangg berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang darii keduanya seratus dali dera”.(an-nur [24]:2)
3. Di antara dalil-dalil ma’nawiyyah
ialah bahwa makna umum itu dapatt di pahami darii penggunaan lafadz-lafadz tertentu yangg menunjukkan demikian. Andaikata lafadz-lafadz tersebut tidak di buat untukk makna umum tentu akan sukar bagi akal memahaminya. Misalnya lafadz-lafadz syarat, istifham dan mausul.
Firman Allah dalaam surat Al- An’am ayat 91:
"Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yangg menurunkan kitab (Taurat) yangg dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia”. (Al- An’am[6]:91).
a. Contoh ‘Amm
Allah berfirman dalaam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, Dia merasa susah karena (kedatangan) mereka, dan (merasa) tidak punya kekuatan untukk melindungi mereka dan mereka berkata: "Janganlah kamu takut dan jangan (pula) susah. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan pengikut-pengikutmu, kecuali isterimu, Dia ialah Termasuk orang-orang yangg tertinggal (dibinasakan)".
Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yangg maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengaan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yangg termasuk keluarganya, hal itu dapatt kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yangg benar. dan Engkau ialah hakim yangg seadil-adilnya."
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yangg benar. dan Engkau ialah hakim yangg seadil-adilnya."
b. Bentuk-bentuk lafadz ‘amm
1) Lafadz‘am mempunyai bentuk (sighah) tertentu, diantaranya:
LAFADH كل (setiap) dan جامع (seluruhnya).
Misalnya firman Allah:
الْمَوْتِ ذَائِقَةُ كُلُّ نَفْسٍ
“Tiap-tiap yangg berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185) LAFADH كل dan حامع tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yangg tidak terbatas jumlahnya.
2) Kata jamak (plural) yangg disertai alif dan lam di awalnya. Seperti:
كَامِلَيْنِ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ وَالْوَالِدَاتُ
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yangg ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalaam ayat tersebut bersifat umum yangg mencakup setiap yangg bernama atau disebut ibu.
Kata benda tunggal yangg di ma’rifatkan dengaan alif-lam.
Contoh:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 275).
LAFADH al-bai’ (jual beli) dan al-riba ialah kata benda yangg di ma’rifatkan dengaan alif lam. Oleh karena itu, keduanya ialah lafadz ‘am yangg mencakup semua satuan-satuan yangg dapatt dimasukkan kedalaamnya
.
LAFADH Asma’ al-Mawshul. Seperti ma, al-ladziina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh ialah firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yangg (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalaam api yangg menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
e. LAFADH Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untukk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yangg beriman serta membayar diat yangg diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92
f. Isim nakirah dalaam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata لَا جُنَاحَ dalaam ayat berikut
Ÿdan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10
2.2.4. Macam-macam penggunaan lafazh ‘amm (umum) :
a. ‘Amm yangg tetap dalaam keumumannya (al-Amm al-Baqi ala Ummiyyah),
contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan pengkhususan.
b. ‘Amm tetapi yangg dimaksudkan ialah khusus (al-Amm al-Murad Bihi al-Khusus).
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyangg di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas ialah umum tapi yangg dimaksud ialah khusus, yaitu Jibril.
c. ‘Amm yangg mendapatt peng-khususan (al-Amm al-Makhsus)
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Padanya terdapatt tanda-tanda yangg nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji ialah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yangg sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) darii semesta alam.”
Ayat itu umum untukk semua manusia, tapi di ayat yangg lain ada peng khususan yaitu bagi yangg mampu.
2.2.5. Khass (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khass merupakan kebalikan darii ‘Am, karena ia tidak menghabiskan semua apa yangg pantas baginya tanpa pembatasan.
Takhsis ialah mengeluarkan sebagian kandungan yangg dicakup oleh makna lafazh yangg umum. Dan mukhassas (yangg mengkhususkan) terkadang muttasil (antara am dan mukhassas tidak dipisah) oleh sesuatu hal, tetapi juga ada kalanya munfasil, kebalikan darii muttasil.
Muttasil ada lima macam:
1. Istithna’ (pengecualian)
2. Menjadi sifat.
3. Menjadi syarat
4. Sebagai ghayah (batas sesuatu).
5. Sebagai badal ba’ad min kull (pengganti sebagian darii keseluruhan).
Adapun mukhassis munfasil ialah mukhassis yangg terdapatt di tempat lain, baik ayat, hadis, ijma’ ataupun qiyas. Contoh yangg ditakhsis oleh al-Qur’an ialah QS al-Baqarah (2): 228 “والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثلاثة قرؤ." Ayat ini ialah bersifat umum, mencakup setiap istri yangg dicerai, baik dalaam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum. Tetapi keumuman ini ditakhsis oleh ayat ath-Thalaq (65): 4 “وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن” dan QS al-Ahzab (33): 49 إذا نكحتم المؤمنات ثم طلقتموهن من قبل أن تمسوهن فما لكم عليهن من عدة
Beberapa dalil yangg ditakhsis oleh hadis ialah seperti “وأحل الله البيع وحرم الربا” al-Baqarah (2): 175. Ayat ini ditakhsis oleh jual beli yangg fasid (rusak) sebagaimana dalaam sejumlah hadis.
Contoh am yangg ditakhsis oleh ijma’ ialah ayat tentang warisan, seperti “يوصيكم الله في أولادكم للذكر مثل حظ الأنثين” an-Nisa’ (4): 11. Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapatt warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan yangg di-takhsis oleh qiyas ialah ayat zina dalaam “الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد مائة جلدة” An-Nur (24): 2. Budak laki-laki di-takhsis-kan dengaan cara diqiyaskan kepada budak perempuan. Pen-takhsisan-nya ditegaskan dalaam “فعليهن نصف ما علي المحصنات من العذاب” an-Nisa’ (4): 25.
2.2.6 Takhsis Sunnah dengaan Al-Qur’an
Terkadang ayat Qur’an mentakhsis, membatasi, keumuman sunnah. Para ulama mengungkapkan contoh dengaan hadits riwayat Abu Waqid Al-Laisi. Ia menjelaskan : Nabi berkata:
“Bagian apa saja yangg dipotong darii hewan ternak hidup maka ia ialah bangkai .
Hadits ini ditakhsis oleh ayat an-Nahl[16]:80
Dan (dijadikan-Nya pula) darii bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yangg kamu pakai) sampai waktu (tertentu)” . (An-Nahl[16]:80
2.2.7 Sah berhujjah dengaan Amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya
Para Ulama berbeda pendapatt tentang sah-tidaknya berhujjah dengaan lafadh Amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya. Pendapatt yangg dipilih oleh ahli ilmu menyatakan, sah berhujjah dengaan Amm terhadap makna yangg termasuk dalaam ruang lingkupnya yangg di luar kategori yangg dikhususkan. Mereka mengajukan argumentasi berupa ijma dan dalil aqli.
Salah satu dalil ijma ialah bahwa Fatimah r.a menuntut kepada Abu Bakar hak waris darii ayahnya berdasarkan keumuman,QS an-nisa 4:11.
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untukk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengaan bagahian dua orang anak perempuan.”
maka ayat ini ditakhsis dengaan orang kafir dan orang yangg membunuh. Namun tidak seorang sahabatpun yangg mengingkari keabsahan hujjah Fatimah, padahal apa yangg dilakukan Fatimah ini cukup jelas dan mashur, karenanya hal demikian dipandang ijma. Oleh karena itu dalaam berhujjah bagi ketidakbolehannya Fatimah akan ahli waris beralih hujjah sabda Nabi Muhammad SAW:
“Kami para nabi, tidak mewariskan. Apa yangg kami tinggalkan menjadi sedekah”
2.2.8. Hukum lafazh ‘amm dan khass:
1. Apabila didalaam ayat Al-Qur’an terdapatt lafazh yangg bersifat khass (khusus), maka maknanya dapatt menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapatt dalil yangg menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat ‘amm (umum) dan tidak terdapatt dalil yangg meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yangg dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapatt dalil yangg men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yangg telah dikhususkannya itu dan satuan yangg khusus itu dikeluarkan darii cakupan makna yangg umum.
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim