KEAJAIBAN SEDEKAH
اَلسَّلاَÙ…ُ عَÙ„َÙŠْÙƒُÙ…ْ ÙˆَرَØْÙ…َØ©ُ اللهِ ÙˆَبَرَÙƒَاتُÙ‡
ُAssalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Tiba-tiba seorang kakek muncul ketika Rasulullah ï·º sedang berkumpul bersama
para sahabatnya di dalam masjid selepas mengerjakan shalat jamaah.
"Wahai, Rasulullah. Saya sangat lapar. Tolonglah saya.
Dan saya tidak punya pakaian kecuali yang menempel di badan sekarang.
Berilah saya..."
Sebenarnya Rasulullah ï·º sangat iba menyaksikan keadaan orang tua itu.
Wajahnya pucat, bibirnya membiru dan tangannya agak gemetar memegangi tongkatnya.
Cuma kebetulan Beliau ï·º sedang tidak punya apa-apa.
Sudah habis diberikannya kepada orang lain.
"Maaf, pak tua.
Tidak ada yang dapat saya berikan saat ini. Tetapi jangan putus asa.
Datanglah kepada anak saya, Fatimah,
mungkin ada sesuatu yang bisa diberikannya sebagai sedekah."
Maka pergilah kakek itu kepada Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا,
Di depan rumahnya kakek itu berseru, "Wahai putri Rasulullah.
Aku lapar sekali. Dan tidak punya apa-apa.
Aku datang kepada ayahmu, tetapi Beliau ï·º sedang tidak punya apa-apa.
Aku disuruhnya datang kepadamu.
Mungkin engkau punya sedekah untukku?"
Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا kebingungan.
Ia tidak memiliki barang yang cukup berharga untuk disedekahkan.
Selaku keluarga Rasulullah ï·º ia telah terbiasa
menjalani hidup amat sederhana, jauh di bawah taraf kehidupan rakyat jelata.
Yang dianggapnya masih lumayan berharga cuma selembar kulit kambing
yang biasa dipakai sebagai alas tidur Hasan رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ dan Husain رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ.
Jadi, itulah yang diambil dan diserahkannya kepada si kakek.
Orang tua itu lebih kebingungan daripada yang memberikannya.
Ia sedang lapar dan tidak punya apa-apa.
Mengapa kepadanya diserahkan selembar kulit kambing?
Buat apa?
"Wahai Putri Rasulullah ï·º,
Apakah kulit kambing itu dapat mengenyangkan perutku dan
dapat kupakai untuk menghangatkan badanku?"
tanya orang tua itu.
Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا tidak bisa menjawab.
Ia kembali masuk ke dalam rumahnya, mencari-cari benda lain yang pantas disedekahkan.
ia bertanya-tanya, mengapa ayahku mengirimkan orang ini kepadaku,
padahal Ayah tahu aku tidak lebih kaya daripada Beliau?
Sesudah termenung sejenak barulah Ia teringat akan seuntai barang
pemberian Fatimah binti Abdul Muthalib رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا, bibinya.
Barang itu amat indah, namun ia merasa kurang pantas memakainya
karena ia dikenal sebagai putri dari pemimpin umat.
Barang itu adalah sebuah kalung emas.
Buru-buru diambilnya benda itu dari dalam kotak simpanannya,
lalu diserahkan kepada si kakek.
Orang itu terbelalak melihat benda yang kini digenggamnya.
Begitu indah. Pasti amat mahal harganya.
Dengan suka cita orang itu pergi menemui Rasulullah ï·º kembali di masjid.
Diperlihatkannya kepada Beliau ï·º kalung emas pemberian Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا,
Rasulullah ï·º hanya berdoa, "Semoga Allah ï·» membalas keikhlasannya."
Salah satu sahabat Nabi ï·º yang kaya raya, Abdurrahman bin Auf رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ, berkata,
"Wahai, bapak tua. Maukah kau jual kalung itu kepadaku?"
Kakek itu menoleh kepada Nabi ï·º,
"Bolehkah saya jual, Ya Rasul?"
"Silakan, kalung itu milikmu," sahut Nabi ï·º.
Orang tua itu lantas berkata kepada sahabat Abdurrahman bin Auf رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ,
"Berikan kepadaku beberapa potong roti dan daging untuk mengganjal perutku,
dan sekedar biaya kepulanganku ke kampung."
Abdurrahman bin Auf رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ mengeluarkan dua puluh dinar dan seratus dirham,
beberapa potong roti dan daging, pakaian,
serta seekor unta untuk tunggangannya ke kampung.
Dengan gembira kakek itu berkata, "Terima kasih, wahai kekasih Allah.
Saya telah mendapatkan lebih daripada yang saya perlukan.
Bahkan saya telah merasa menjadi orang kaya."
Nabi ï·º menjawab,
"Terima kasih kepada Allah ï·» dan Rasul-Nya harus diawali dengan
berterima kasih kepada orang yang bersangkutan. Balaslah kebaikan Fatimah."
Orang tua itu kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas,
"Ya Allah, aku tak mampu membalas kebaikan Fatimah dengan yang sepadan.
Karena itu aku mohon kepada Mu, berilah Fatimah balasan dari hadirat -Mu,
berupa sesuatu yang tidak terlintas di mata, tidak terbayang di telinga
dan tidak terbetik di hati, yakni surga Mu, Jannatun Na'im."
Rasulullah ï·º menyambut doa itu dengan amin seraya tersenyum ceria.
Beberapa hari kemudian, budak Abdurrahman bin Auf رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ, bernama Saham
datang menghadap Nabi ï·º sambil membawa kalung yang dibeli dari orang tua itu.
"Ya Rasulullah," ujar Saham.
"Saya datang kemari diperintahkan Tuan Abdurrahman bin Auf رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡ُ untuk
menyerahkan kalung ini untukmu, dan diri saya sebagai budak diserahkannya kepadamu."
Rasulullah ï·º tertawa.
"Kuterima pemberian itu.
Nah, sekarang lanjutkanlah perjalananmu ke rumah Fatimah, anakku.
Kalung ini tolong serahkan kepadanya.
Juga engkau kuberikan untuk Fatimah.
Saham lalu mendatangi Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا di rumahnya,
dan menceritakan pesan Rasulullah ï·º untuknya.
Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا dengan lega menyimpan kalung itu di tempat semula,
lantas berkata kepada Saham,
"Engkau sekarang telah menjadi hakku karena itu, engkau kubebaskan.
Sejak hari ini engkau kembali menjadi orang merdeka."
Saham tertawa nyaring sampai Fatimah رَضِÙŠَ اللَّÙ‡ُ عَÙ†ْÙ‡َا keheranan,
"Mengapa engkau tertawa?"
Bekas budak itu menjawab,
"Saya gembira menyaksikan riwayat sedekah dari satu tangan ke tangan berikutnya.
Kalung ini tetap kembali kepadamu, wahai putri junjungan,
namun karena dilandasi keikhlasan, kalung ini telah membuat kaya orang miskin,
telah menjamin surga untukmu, dan kini telah membebaskan aku menjadi manusia merdeka."
Wallahu a'lam Bishowab
Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa' 'ala aali sayyidinaa Muhammad.
Semoga bermanfaat
Silahkan share
"SIRAH NABAWIYAH"
Ditulis ulang dari 30 Kisah Teladan, oleh Alm. K.H Abdrrahman Arroisy.