WAKTU SHALAT BERDASARKAN KEUTAMAANNYA
Dilihat dari keutamaan pelaksanaannya, waktu shalat dibagi menjadi tujuh, yaitu:
1. Waktu fadilah (utama).
Yaitu waktu yang jika seseorang melaksanakan shalat di dalamnya akan mendapatkan keutamaan shalat di awal waktu. Hal itu dapat dicapai dengan melakukan perbuatan-perbuatan pengantar shalat setelah masuk waktu, seperti menjawab azan, bersuci, memakai pakaian, menunggu jamaah dan lain-lain. Dinamakan waktu fadilah karena Nabi SAW ketika ditanya ibadah apa yang paling afdal (utama) maka beliau menjawab: “Shalat di awal waktu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Waktu fadilah untuk semua shalat wajib adalah sama yaitu sejak masuk waktu shalat tersebut hingga waktu yang diperlukan untuk melakukan perbuatan pengantar shalat.
2. Waktu ikhtiyar (pilihan).
Yaitu waktu yang dipilihkan oleh syariat bagi seseorang yang tidak dapat shalat pada waktu fadilah. Dinamakan waktu ikhtiyar karena Jibril AS memilih waktu tersebut untuk pelaksanaan shalat ketika mengajarkan waktu shalat kepada Nabi SAW.
Zhuhur: sejak awal waktu hingga tersisa waktu yang cukup untuk sekali shalat sebelum waktu zhuhur berakhir.
Ashar: sejak berakhir waktu fadilah hingga panjang bayangan suatu benda dua kali lipat dari benda tersebut.
Magrib: sama seperti waktu fadilah.
Isya`: sejak berakhir waktu fadilah hingga berakhirnya sepertiga malam pertama.
Shubuh: sejak awal waktu hingga waktu dimana seseorang dapat mengenali seseorang di dekatnya (al-isfâr).
3. Waktu jawaz (boleh).
Yaitu waktu yang dibolehkan untuk menunda shalat hingga waktu tersebut. Waktu jawaz dibagi dua: waktu jawaz tanpa kemakruhan dan waktu jawaz dengan kemakruhan.
Zhuhur: sejak awal waktu hingga tersisa waktu yang cukup untuk sekali shalat sebelum waktu zhuhur berakhir.
Ashar:
Boleh tanpa kemakruhan: sejak berakhirnya waktu ikhtiyar hingga langit di bagian barat menjadi kekuningan (al-ishfirâr).
Boleh dengan kemakruhan: sejak langit kekuningan hingga hanya tersisa waktu untuk melaksanakan sekali shalat saja.
Magrib:
Boleh tanpa kemakruhan: sama seperti waktu fadilah.
Boleh dengan kemakruhan: sejak berakhir waktu fadilah hingga tersisa waktu yang cukup untuk melaksanakan satu shalat Magrib.
Isya`:
Boleh tanpa kemakruhan: sejak berakhir sepertiga malam pertama hingga terbit fajar kadzib.
Boleh dengan kemakruhan: sejak terbit fajar kadzib hingga tersisa waktu yang hanya cukup untuk melaksanakan sekali shalat.
Shubuh:
Boleh tanpa kemakruhan: sejak awal waktu hingga muncul mega merah.
Boleh dengan kemakruhan: sejak muncul mega merah hingga tersisa waktu yang hanya cukup untuk melaksanakan satu kali shalat.
4. Waktu hurmah (larangan).
Yaitu waktu yang dilarang mengakhirkan shalat hingga waktu tersebut tanpa uzur seperti tertidur. Waktu hurmah untuk seluruh shalat adalah sama yaitu jika tidak tersisa waktu untuk melaksanakan satu kali shalat meskipun belum keluar waktunya.
5. Waktu uzur.
Yaitu waktu yang boleh melaksanakan shalat pada waktu tersebut jika memiliki uzur (alasan yang dibenarkan syariat), seperti karena perjalanan dan sakit.
Zhuhur: yaitu keseluruhan waktu shalat Ashar.
Ashar: yaitu keseluruhan waktu shalat Zhuhur.
Magrib: yaitu keseluruhan waktu Isya`.
Isya`: yaitu keseluruhan waktu Magrib.
Shubuh: tidak ada waktu uzur dalam shalat Shubuh.
6. Waktu darurat.
Yaitu sisa waktu shalat hanya sekedar untuk takbiratul ihram atau lebih setelah larangan shalat menjadi hilang, seperti suci dari haid.
Waktu darurat untuk seluruh shalat adalah sama.
7. Waktu idrak (ditetapkan kewajiban shalat).
Yaitu waktu yang muncul setelahnya larangan shalat –seperti haid dan gila– sementara waktu yang telah terlewati tersebut cukup untuk melaksanakan shalat dan bersuci secara lengkap.
Catatan:
1) Makruh hukumnya tidur sebelum shalat Isya` serta setelah shalat Shubuh dan Ashar. Begitu pula hukumnya makruh begadang setelah shalat Isya` kecuali untuk tujuan baik, seperti ibadah dan belajar.
Diriwayatkan dari Abu Barzah RA: “Rasulullah SAW tidak meyukai tidur sebelumnya, dan berbincang-bincang setelahnya.” Maksundya shalat Isya`. (HR. Bukhari dan Muslim).
2) Suatu shalat dinyatakan sebagai shalat di dalam waktu (ada`an) jika mendapatkan satu rakaat di dalam waktu (meskipun sisanya di luar waktu), baik karena uzur ataupun tidak. Jika tidak mendapatkan satu rakaat atau tidak penuh mendapatkannya maka dianggap sebagai shalat qadha. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Barang siapa mendapatkan satu rakaat shalat Shubuh sebelum terbit matahari maka ia telah mendapatkan shalat Shubuh. Dan barang siapa mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum tenggelam matahari maka ia telah mendapatkan shalat Ashar.” (Muttafaq alaih).
3) Disunahkan mengakhirkan pelaksanaan shalat Zhuhur hingga suasana lebih dingin (al-ibrâd). Rasulullah SAW bersabda:
إَذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوْا بِالظُّهْرِ، فَإِنَّ شِدَّةِ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
“Jika panas begitu terik maka tunggulah dingin untuk melaksanakan shalat Zhuhur, karena sesungguhnya teriknya panas adalah sebagian dari hembusan neraka Jahanam.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perbuatan ini disunahkan jika memenuhi lima syarat, yaitu:
Shalat yang diakhirkan adalah shalat Zhuhur.
Dilakukan di musim (waktu) panas.
Dilakukan di wilayah panas, seperti Hijaz dan Hadramaut.
Dilaksanakan secara berjamaah.
Tempat shalat jauh.
Sumber : http://ahmadghozali.com
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim