ANAK PUNK DILARANG BERKUNJUNG KE RUMAHKU! DAN, DILARANG MAKAN DI WARUNG!
Saya cukup kaget membaca pesan Whatsapp dari istriku yang masih berada di Surabaya. “Ayah… Kita disuruh menghadap RT. Ada masalah dengan anak Punk. Ada 3 orang melapor ke ketua RT, karena merasa tidak nyaman dengan kedatangan anak-anak Punk ke rumah.”
Saya bertanya-tanya dalam hati; Apa salah mereka? Dia berkunjung ke rumah untuk silaturahmi dan konsultasi, untuk bekerja, untuk mengaji, belajar Al-Fatihah, belajar shalat dan dzikir. Tak ada suara kegaduhan yang mereka buat. Mereka sangat sopan. Saat pengajian, jamaah Tasawuf Underground jadi saksi keramahan mereka. Prof Dr Asep Usman Ismail pembicara yang adalah ketua DKM Masjid Al-Mughirah pun jadi saksinya. Mereka ikut mendengarkan ceramah Profesor tentang tasawuf dengan antusias.
“Mereka memang tidak berbuat asusila. Tidak membuat kegaduhan. Tidak melanggar kriminal. Tapi, kedatangan mereka di rumah membuat beberapa tetangga merasa tidak nyaman,” tutur istriku sambil mem-forward isi pesan Whatsapp tetangga kami.
Dari sudut apa pun, isi pesan dari tetanggaku itu adalah teror. Jika ditelaah dengan ilmu sosial apa pun hal tersebut tidak dibenarkan. Dia tahu bahwa mereka datang ke rumahku untuk mengaji, konsultasi dan belajar agama. Atas nama sopan-santun, saya tidak paparkan semua isi pesan Whatsapp di tulisan ini. Saya hanya bisa berbagi beberapa saja.
Berikut isi Whatsapp tetangga:
“Tadi Pak RT datang ke sy, untuk teman2 atau tamu bapak dihimbau untuk lebih “sopan” dtg bertamu atau bersosialisasi dgn lingkungan. Maksudnya, sudah ada pengaduan dr beberapa warga kalau banyak yang tidak nyaman dengan tamu bapak, karena tatonya yg kelihatan, sampai ke wajah2.. Mungkin bisa dibilang ke tamu kalau dtg lebih sopan memakai lengan panjang. Memang mereka tidak berbuat onar, malah justru kan saya dgr pengajian, cuma tetangga tidak nyaman bu. Untuk lebih jelas baik bapak/ibu menghadap atau melapor ke pak RT. Biar tidak salah paham. Begitu Bu menurut pak RT.”
Berkali-kali saya membaca isi pesan ini. Saya heran, kalau tato mereka hingga ke wajahnya, lalu apa perlu mereka datang ke rumahku menggunakan cadar? Kalau mereka sudah tahu bahwa mereka datang untuk mengaji, apa bukan berarti dia melarang mereka mengaji? Hukum apa yang telah mereka langgar untuk berkunjung ke rumahku? Hukum apa yang melarang? Etika sosial apa yang telah mereka langgar? Bukankah yang terjadi adalah sebaliknya?! Apakah saya perlu membuat pamflet di depan rumah dan disebar ke seluruh medsos “ANAK PUNK DILARANG BERKUNJUNG KE RUMAHKU!” Lalu aku tulis, “Kecuali sopan, pakai lengan panjang. Jangan buat onar. Jangan membuat orang tidak nyaman.”
Padahal, anak Punk yang datang ke rumah paling lama 5 menit berada di depan gerbang saat menunggu pintu terbuka, selebihnya mereka di dalam rumah. Atau sesekali, salah satu dari mereka pergi membeli rokok ke warung sebelah. Itu pun tidak tiap hari mereka datang, paling hanya seminggu sekali. Lalu, ketidaknyamanan seperti apa yang mereka maksudkan? Bukankah setiap kali ada pengajian di rumahku, RT dan puluhan warga mengetahui karena aku meminta izin? Bukankah ini soal LIKE dan DISLIKE. Kalaupun mereka datang malam-malam ke rumah, mereka berpakaian rapi dan sopan. Bahkan, berkali-kali, setiap kali mereka ingin berkunjung ke rumah pasti menyiapkan pakaian terbaik mereka. Saat mereka ingin menghadiri pengajian di Curug, mereka semua pakai sarung, pakaian lengan panjang, mandi dulu, seolah-olah mereka ingin menghadiri acara agung yang tak boleh salah kostum. Bagi mereka berkunjung ke rumah atau pengajian adalah hal yang membutuhkan perjuangan hebat untuk dipersiapkan. Pernahkah kita berpikir begitu?
Akhirnya, berita tentang masalah ini pun diketahui oleh warga yang lain. Alhamdulillah, lebih banyak di antara mereka yang menerima dengan baik peran saya bagi anak Punk. Hingga akhirnya, ketua RT pun mau mendengarkan penjelasan saya. Anak Punk tetap dibolehkan untuk berkunjung ke rumah saya (dengan catatan tertentu). Dia pun meminta maaf atas kesalahpahaman tersebut.
Tentu saja pemberian maaf memang harus kita berikan. Saya cukup maklum dengan posisi ketua RT di tengah keberagaman cara pandang warga. Tidak semua orang bisa memahami ajaran kasih dengan baik. Ego manusia menjadi penyebabnya. Karena pangkat, kedudukan, pendidikan, dan ekonomi semakin memperbesar ego. Saya harus maklum, meski mereka memang tidak paham atau tidak mau memahami. Mereka tahu, tapi menutup mata. Mereka tahu, tapi tidak mau terganggu. Mereka tidak suka, tetapi mencari dalih untuk tampak menyukai. Mereka merasa suci, merasa paling sosial, paling terdidik, paling sopan, paling bermasyarakat, dan paling beragama, sehingga ketika melihat fenomena anak Punk di depan mata mereka merasa terusik.
Padahal, orang berpakaian rapi dan berdasi itu yang telah mencuri uang rakyat Indonesia hingga trilyunan. Mereka yang telah korupsi puluhan milyar rupiah di Republik ini adalah mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka yang telah membuat kesengsaraan dan ketimpangan sosial adalah mereka yang berpangkat tinggi. Mereka yang berpakai sopan itu yang menjarah uang rakyat. Mereka ini kriminal sesungguhnya!!!
Bayangkan jika kita menjadi anak Punk dengan tato di sekujur tubuh, berada di jalanan, mengamen, mencari sesuap nasi dari belas kasihan orang. Nongkrong di trotoar, tepi jalan, perempatan, dari bus ke bus, dari angkot ke angkot. Lalu, ketika kesadaran ruhani mereka tumbuh, mereka ingin berbenah, ingin berubah, ingin mengaji, dan belajar shalat, kemudian kita meresa terganggu dengan mereka. Apa yang yang akan terjadi? Bagaimana dengan nasib mereka? Bukankah kita berkontribusi pada keterpurukan mereka?!
Cemooh, hinaan, cibiran, hujatan dan bahkan tuduhan sebagai kriminal sering kali terjadi pada anak Punk dan anak jalanan. Saya menjadi saksi bahwa untuk membeli sebungkus nasi di warung saja, mereka membutuhkan perjuangan besar. Mereka harus memiliki 100 kali lipat kesabaran yang dimiliki oleh orang lain, selain anak Punk.
Suatu ketika, saya mengajak mereka untuk makan siang bersama. Saya meminta mereka untuk memilih rumah makan mana yang bisa untuk kita makan dan sambil ngopi bareng. Saya kaget, karena tak ada satu pun yang berani menunjuk, warung mana yang akan kita datangi. Sebab, mereka sedang menyembunyikan sesuatu. Tak pernah mereka makan di warung bersama-sama. Mereka paling bisa membeli nasi bungkus, lalu mereka makan bersama di taman atau trotoar. Saya pikir itu alasan satu-satunya. Ternyata tidak.
Singkat cerita, saya pun berjalan di depan mencari warung, lalu di belakangnya belasan anak Punk mengikuti. Aneh bin Ajaib, warung pertama yang saya kunjungi menjawab, “Maaf Pak, nasinya habis.” Saya faham dan mengajak anak-anak mencari warung lain. Warung kedua, “Sudah tutup, Pak.” Sungguh hebat bisnis warung nasi di sekitar sini. Masih sore semua warungnya laris manis tanjung kimpul, dagangan laris uangnya ngumpul.
Saya cukup bersabar dan masih bisa berjalan mencari warung lain yang pemilik dan penjaga warungnya manusia. Dua warung yang saya kunjungi tadi, adalah makhluk asing yang menyamar sebagai manusia. Makhluk ruang angkasa yang sedang mencari nafkah di bumi ini. Terdetik di hati saya, “Kalau warung yang ketiga menolak. Demi Allah, saya akan seret polisi yang berjaga di Pos Perempatan Gaplek untuk membeli nasi buat kami.”
“Assalamualaikum Mas. Saya mau mentraktir anak-anak Punk. Boleh nggak, kita makan disini? Kalau boleh saya pesan 15 porsi.”
“Hahahah. Ya boleh banget, Pak. Silahkan,” jawabnya santun.
“Alhamdulillah…Saya tidak salah warung. Ini warung milik manusia.”
Mereka sering dilarang makan di warung, meskipun mereka membeli dengan harga yang sama dengan pelanggan yang lain. Mereka datang untuk membeli, tapi bagi pihak warung, anak Punk dan jalanan tidak punya hak itu. Kalau tidak berkenan dengan cerita ini, anggap saja ini adalah cerita tentang kedatangan Alien ke bumi kita. Ini tidak nyata!!!
Semoga dapat menjadi bahan renungan.
Salam
Sumber : Halim Ambiya Pendiri & Admin Tasawuf Underground (fanspage facebook)
Wallahu a'lam Bishowab
Allahuma sholii 'alaa sayyidina muhammad wa 'alaa aalihi wa shohbihi wa salim