HADIST DHA'IF
Habibana Munzir bin Fuad Almusawa Alaihi Rahmatullah:
Sampailah kita pada hadits agung dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
قَالَ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
(صحيح البخاري)
Sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas ucapanku maka ia (bersiap) mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari)
Makna hadits ini sudah jelas, namun kita perlu menelaah lagi berkaitan dengan saudara-saudara kita yang terjebak dengan rendahnya pemahaman, sehingga tergesa-gesa untuk menghapus hadits-hadits semau mereka, atau dengan berkata : “hadits itu dha’if maka jangan digunakan sebagai dalail”, dll.
Padahal hadits dha’if bukanlah hadits palsu, dimana para ahli hadits membagi hadits dha’if menjadi 40 bagian, dan diantaranya ada hadits yang masih bisa digunakan sebagai hujjah, sebagaimana Al Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan hadits dha’if dalam menetapkan dalil akan sentuhan suami dan istri tidak membatalkan wudhu’, adapula hadits yang tidak bisa lagi digunakan sebagai hujjah namun bisa dijadikan amal untuk dianut dan diikuti, dan ada pula yang bisa dijadikan sebagai dalil sejarah, karena tidak semua hadits dha’if itu termasuk hadits palsu.
Namun jika telah disebutkan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu maka besar kemungkinannya bahwa hadits itu riwayatnya juga palsu. Namun para ulama salafusshalih tidak berkenan menghapus hadits dha’if begitu saja karena para periwayatnya adalah para shalihin.
Dan hadits Shahih itu sangat berat syaratnya sebagaimana Al Imam Bukhari ketika beliau mendengar ada salah seorang yang menyimpan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan belum beliau ketahui, lalu beliau tempuh perjalanan 3 bulan untuk menemui orang tersebut dan ternyata dia adalah seorang penggembala kambing dan di saat itu ia menggembala kambingnya kemudian memanggil kambingnya dengan mengangkat sorbannya yang berwarna hijau, maka kambingnya pun datang karena mengira sorban itu adalah rumput karena berwarna hijau, maka Al Imam Bukhari berkata : “aku tidak mau mengambil hadits dari orang itu ”, karena dia adalah penipu.
Sekedar menipu hewan saja haditsnya tidak diambil oleh Al Imam Bukhari, meskipun belum tentu orang tersebut berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun hal itu demi menjaga hadits yang shahih.
Oleh karena itu jangan terburu-buru mendengarkan ucapan orang yang biasa memvonis suatu hadits sebagai hadits dha’if, karena hal tersebut termasuk mendustakan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wallahu a'lam Bishowab
Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa'ala alihi washobihi wasalim